Ulama dan Umara: Juru Kunci Perdamaian Bangsa

Share :

Rusak Budi Bangsa Binasa

(Negeri yang sejahtera pun akan bisa rusak jika masyarakatnya tidak berbudi pekerti baik)

(Peribahasa Indonesia, KBBI: 987)

Maraknya penyimpangan sosial yang berupa gerakan radikalisme, membuat Indonesia sangat terancaman menjadi korban yang berkelanjutan. Adanya gerakan radikalisme ini berangkat dari propaganda berbasis agama untuk menebar kebencian terhadap sesama, saling menghasut, memfitnah, dan menghujat, yang mengakibatkan perpecahan antar penduduk semakin besar. Dengan propaganda tersebut, oknum-oknum yang sudah terpengaruh sangat berani melakukan aksi kekerasan dan tidak takut lagi untuk berbuat radikal, yang dibuktikan dengan meledakkan bom. Aksi pelemparan bom molotov di depan Gereja Samarinda yang menewaskan Intan Olivia Marbun, merupakan salah satu contoh perbuatan oknum yang sudah lama terpengaruh propaganda kebencian.

Buruknya budi pekerti yang ada di dalam diri pelaku, merupakan sebab dirinya melakukan hal yang membahayakan. Perilaku yang membahayakan tersebut lambat laun akan mengantarkan Indonesia yang sejahtera dan damai ini menjadi negara yang serba rusak, yaitu rusak akal, iman, dan rusak tatanan sosialnya. Peribahasa Indonesia yang ditulis untuk membuka artikel ini memang benar adanya, karena perdamaian dan ketentraman sebuah negara bisa terwujud dengan baiknya budi pekerti pemimpin, ulama, dan penuduknya. Jika ada salah satu di antara tiga pihak tersebut yang buruk budi pekertinya, maka sebuah negara akan menuju keburukan yang nyata.

Buruknya budi pekerti yang berakibat pada perpecahan antar golongan ini, membuat para ulama dan umara melakukan peningkatan dakwah dan penegakan hukum agar Indonesia bisa tetap sejahtera dan mempertahankan perdamaian. Ulama dan umara dalam hal ini merupakan dua juru kunci yang merawat perdamaian dan persatuan bangsa Indonesia. Juru adalah orang yang ahli dalam suatu hal, sedangkan kunci dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah kedudukan yang sangat penting unutuk mengenakan pengaruh. Jadi juru kunci perdamaian adalah orang yang ahli dan berkedudukan penting untuk menyebarluaskan pengaruh perdamaian. Kenapa dikatakan juru kunci? Karena keduanya merupakan pihak yang benar-benar mengerti perdamaian dan cara menggiring umat untuk memperbaiki budi pekertinya dan diamalkan melalui perdamaian.

Ulama dengan berpegang teguh kepada al-Qur’an dan hadis membuat dirinya terjaga dari buruknya budi pekerti dan perpecahan umat. Kabar-kabar perdamaian dan tatacara mewujudkan perdamaian tertuang semua dalam rujukan utama ulama. Implikasi dari baiknya budi pekerti akan membawa dirinya berlaku sopan, santun, ramah dan tidak mudah marah terhadap siapapun serta merawat warisan perdamaian yang telah berjalan lama. Pengetahuan agama yang kental sangat berkaitan erat dengan pembentukan budi pekerti yang baik, sehingga di Indonesia ada mata pelajaran Pendidikan Agama dan Budi Pekerti.

Sedangkan umara dengan berpegang teguh dengan Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945 dan peraturan-peraturan negara lainnya juga menjadi juru kunci perbaikan budi pekerti dan penegakkan perdamaian. Dengan hal tersebut umara berusaha menjaga keadilan dan kesejahteraan terhadap kelompok dan agama apapun, karena mereka semua memiliki hak yang sama. Indonesia bukan hanya milik satu kelompok atau agama, tetapi milik bermacam-macam kelompok dan agama yang sangat mengharapkan perdamaian ini berlanjut hingga kapanpun.

Di Indonesia, ulama dan umara sama-sama memegang teguh al-Qur’an, sunah, UUD 1945, Pancasila dan undang-undang lainnya. Dengan semangat kedua juru kunci tersebut, maka perdamaian berusaha ditegakkan melalui jalan keagamaan dan keindonesiaan, dimana antar dua juru kunci ini bisa memiliki satu tekad bulat mengantarkan masyarakat memiliki budi pekerti yang baik dan menjadi garda terdepan perdamaian.

Seiring propaganda perdamaian yang bisa dilakukan dua juru kunci tersebut, itu artinya kedua juru kunci ini berusaha meredam kebencian yang menggerakkan kepada kekerasan dan berujung pada perbuatan radikal. Hal tersebut harus diredam karena itu bukanlah karakter agama dan negara Indonesia, jika warga Indonesia yang beragama Islam tetap berbuat demikian, maka itu artinya dirinya menistakan agama dan negaranya sendiri. Semoga warga negara Indonesia terhindar dari hal-hal yang menistakan agama dan negara.

Penulis Arief Rifkiawan Hamzah / Alumni Ponpes Al-Hikmah Benda, Sirampog, Brebes dan alumni Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Editor

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *