Penentuan awal bulan Hijriyah sering menimbulkan polemik dikarenakan setiap golongan mempunyai keyakinan dan pemahaman tersendiri dalam menentukan awal bulan Hijriyah khususnya bulan Ramadhan, Syawwal, dan Dzulhijjah yang ada hubungannya dengan kegiatan ibadah. Adanya perbedaan pendapat dalam penetapan awal bulan Hijriyah selain disebabkan adanya perbedaan metode dan sistem atau aliran dalam penentuannya, melainkan juga disebabkan karena adanya perbedaan batas geografis keberlakuan rukyat atau disebut Approach/mathla’. Adanya perbedaan Approach/mathla’ ini disebabkan karena ada yang berpedoman pada Approach Global dan Approach Parsial. Persoalan Approach/mathla’ juga terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama, khususnya di kalangan empat mazhab yaitu mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali.
Mazhab menurut bahasa berasal dari kata dzahaba yang berarti pergi atau dapat juga berarti pendapat. Adapun menurut istilah mazhab artinya adalah metode yang digunakan seorang mujtahid dalam menetapkan hukum suatu peristiwa. Mazhab juga merupakan sistem pemikiran atau pendekatan intelektual. Secara khusus, istilah ini digunakan untuk sesuatu yang berkaitan dengan aliran-aliran dalam fiqh. Selain itu, mazhab juga diartikan sebagai jalan dan keyakinan yang diikuti. Para pakar syari’at mendefinisikan mazhab sebagai sekumpulan pemikiran mujtahid di bidang hukum-hukum syari’at yang digali dengan menggunakan dalil-dalil secara terperinci (tafshil), kaidah-kaidah dan ushul, serta memiliki keterkaitan antara satu dan lainnya, lalu dijadikan sebagai satu kesatuan. Dalam arti lain bahwa yang dimaksud dengan mazhab adalah ushul dan fiqhnya seorang mujtahid.
Mazhab Hanbali ialah sekumpulan pemikiran Imam Ahmad bin Hanbal di bidang hukum-hukum syari’at. Dalam arti lain bahwa yang dimaksud dengan mazhab Hanbali adalah ushul dan fiqhnya Imam Ahmad bin Hanbal. Imam Ahmad bin Hanbal nama lengkapnya ialah al-Imam Abu Abdillah Ahmad ibn Hanbal ibn Hilal Addahili as-Syaibani al-Maruzi, ia dilahirkan di kota Baghdad pada tahun 164 H. Ayahnya bernama Muhammad as-Syaibani, sedangkan ibunya bernama Syarifah binti Maimunah binti Abdul Malik bin Sawadah binti Hindun as-Syaibani (wanita dari bangsa Syaibaniyah juga) dari golongan terkemuka kaum bani Amir. Ayahnya wafat di kala Imam Ahmad ibn Hanbal masih kanak-kanak. Imam Ahmad bin Hanbal wafat pada hari Jum’at tanggal 12 bulan Rabi’ul Awwal tahun 241 H. jenazahnya dan di makamkan di Baghdad setelah shalat Jum’at.
Imam Ahmad bin Hanbal sejak kecil sudah dapat menghapal Al-Qur’an, sudah biasa mempelajari dan memikirkan ketentuan-ketentuan hukum yang terdapat didalamnya. Bahkan sejak kecil, ia pun sudah belajar dan mempelajari ilmu hadits. Pada usia 15 tahun Imam Ahmad bin Hanbal mulai giat mempelajari ilmu hadits. Selama 7 tahun ia mempelajari hadits-hadits pada guru-gurunya di Baghdad. Untuk lebih memperkaya ilmu penegetahuannya tentang hadits, pada usia 18 tahun ia berangkat ke Bashrah, dan berguru pada ulama hadits di kota itu. Namun setelah satu satu tahun di Bashrah. Ia pergi ke Hijaz. Disana ia bertemu dengan Imam Syafi’i dan berguru padanya.
Mengenai pemikirannya Imam Ahmad bin Hanbal mendasarkan mazhabnya pada Al-Qur’an, Hadits Rasul yang dianggap sahih, Al-Ijma’, dan Al-Qiyas, Istihsan, Istihsab, dan Dzari’ah. Dalam hal menggali atau menarik kesimpulan hukum syari’at serta dalam menetapkan fatwa-fatwanya. Imam Ahmad bin Hanbal menempuh qiyas apabila dalam keadaan darurat. Imam Ahmad bin Hanbal berbeda dari pendahulunya, ia lebih mengutamakan hadits dha’if dari pada qiyas. Selagi ia memandang hadits itu benar dan ia yakin bahwa hadits itu tidak maudhu’. Metode qiyas Imam Ahmad bin Hanbal lebih luas dari pada metode qiyas yang ditempuh oleh para Imam ahli fiqh lainnya. Dalam metode qiyas nya ia tidak hanya melihat pada kesamaan atau kemiripan ‘illat saja, melainkan lebih jauh lagi, yaitu melihat pada hikmah yang terkandung dalam kasus pemecahan hukum. Sebab ‘illat suatu ketentuan hukum adalah sebabnya, sedangkan hikmah yang terkandung dalam pemecahan hukum adalah tujuannya. Yaitu kemaslahatan yang hendak diwujudkan dan kemudharatan yang hendak dihindarkan. Pemikiran Imam Ahmad bin Hanbal sangat dipengaruhi oleh pemikiran gurunya yaitu Imam Syafi’i, dikemudian hari setelah Imam Ahmad bin Hanbal menjadi seorang Imam besar, ia berkata, “jika saya ditanya mengenai masalah yang saya tidak mengetahui haditsnya, saya akan menjawab menurut pendapat Asy-Syafi’i”. Adapun sebagian orang yang terkenal menyebarluaskan atau membesarkan mazhabnya adalah Abu Bakar Ahmad bin Muhammad bin Hani’ yang terkenal dengan Atsram, Ahmad bin Muhammad bin Hajaj Al-Marwazi, dan Ishak bin Ibrahim yang terkenal dengan Ibnu Rahawaih Al- Marwazi.
Mathla’ Perspektif Mazhab Hanbali
Mathla’ menurut mazhab Hanbali ‘Abdurrahman Al-Jaziri dalam kitabnya Al-Fiqhu ‘Ala Madzhabil Arba’ah menjelaskan apabila telah ditetapkannya rukyatul hilal pada suatu wilayah, maka diwajibkan berpuasa bagi seluruh wilayah dan tidak adanya perbedaan mengenai wilayah yang dekat dan jauh. Apabila telah sampai kabarnya rukyatul hilal kepada seluruh wilayah, seluruh penduduk di muka bumi diwajibkan untuk berpuasa. Dan tidak menjadi pertimbangan dengan adanya perbedaan mathla’ hilal secara mutlak. Wahbah al-Zuhaili dalam kitabnya al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu menjelaskan pendapat Mazhab Hanbali yaitu rukyat di suatu negeri berlaku untuk seluruh kaum muslimin di negeri lain yang dekat maupun jauh. Dan seluruh orang wajib berpuasa termasuk bagi yang melihatnya. Ibnu Qudamah (Hanabillah) dalam kitabnya Al-Mughni bahwasannya umat Muslim sepakat atas wajibnya berpuasa di bulan Ramadhan yang apabila telah ditetapkannya rukyatul hilal pada hari tersebut dari bulan Ramadhan, berdasarkan kesaksian orang-orang yang terpercaya, maka diwajibkan berpuasa Ramadhan bagi seluruh Muslim. Hasan Ayub juga menerangkan dalam kitabnya fiqhul ‘ibadaat biadillatiha fil islam bahwa mayoritas ulama Hanabillah menetapkan perbedaan mathla’ tidak berpengaruh, yaitu apabila penduduk suatu negara melihat hilal Ramadhan, seluruh negara Islam wajib berpuasa bersamaan dengan penduduk yang melihat hilal. berdasarkan keumuman hadits Rasulullah saw.
حَدِيْثُ عَبْدِ اللّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا . أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَكَرَ رَمَضَانَ فَقَالَ: لاَ تَصُوْمُوْا حَتَّى تَرَوُا الْهِلاَلَ . وَلاَ تُفْطِرُوْا حَتَّى تَرَوُهُ . فَإنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقدُرُوْا لَهُ (رَوَاهُ الْبُخَارِيْ)
Artinya: “Hadits ‘Abdullah bin ‘Umar r.a. bahwasannya Rasulullah Saw, menyebut Ramadhan, kemudian beliau bersabda:”janganlah kamu berpuasa sehingga kamu melihat hilal (bulan sabit), dan janganlah kamu berhari raya sehingga kamu melihatnya, apabila tertutup oleh mendung maka perkirakanlah.” (H.R. Bukhari)
عَنْ اَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ الله عَنْهُ يَقُوْلُ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صُوْمُوْا لِرُؤْيَتِهِ وَاَفْطِرُوْا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوْا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلَاثِيْنَ(رَوَاهُ الْبُخَارِيْ)
Artinya: “Dari abu hurairah r.a. berkata: nabi saw. Bersabda: berpuasalah bila kalian melihat bulan, dan berbukalah bila kalian melihat bulan, namun bila bulan itu tertutup atas kalian (oleh awan), maka sempernukanlah hitungan bulan Sya’ban itu menjadi tiga puluh hari.” (H.R. Bukhari)
Berdasarkan hadits diatas bahwasannya lafadz صُوْمُوْا لِرُؤْيَتِهِ وَاَفْطِرُوْا لِرُؤْيَتِه ”berpuasalah kamu karena melihat hilal dan berbukalah kamu karena melihat hilal”. Sasaran (khitab) yang dituju adalah seluruh ummat, yaitu apabila salah seorang mereka menyaksikan hilal pada tempat manapun, itu berarti rukyat bagi mereka semua. Tidak dibedakan oleh perbedaan geografis dan batas daerah kekuasaan. Sedangkan Wahbah Al-Zuhaily menyatakan bahwa hadits diatas menunjukkan wajibnya berpuasa bagi seluruh kaum muslimin berkenaan erat dengan rukyat yang tidak terikat (mutlak). Oleh sebab itu, rukyat dapat diterima atau terpenuhi baik dari orang banyak (jama’ah) maupun dari seseorang yang kesaksiannya diterima.
Wallahu A’lam bis Shawwab.
Penulis | Meri Fitri Yanti / Mahasiswa FSH IAIN Raden Intan Lampung |
Editor | – |