Tazkiyatun Nafs Sebagai Aplikasi Shofa’ut Tauhid

Share :

Sebagai makhluk yang memiliki kesadaran, manusia menyadari adanya problem yang mengganggu jiwanya, oleh karena itu sejarah manusia  mencatat adanya upaya mengatasi problem tersebut. Upaya-upaya tersebut ada yang bersifat mistik yang irasional, ada juga bersifat rasional, konsepsional dan ilmiah. Secara alamiah manusia merindukan kehidupan yang tenang dan sehat, baik jasmani maupun rohani, kesehatan yang bukan hanya menyangkut badan, tetapi juga kesehatan mental. Suatu kenyataan bahwa peradaban manusia yang semakin maju berakibat pada semakin kompleksnya gaya hidup manusia.

Bersamaan dengan  pesatnya modernisasi kehidupan, manusia harus menghadapi persaingan yang sangat ketat, pertarungan yang sangat tajam, suatu keadaan yang menimbulkan kegalauan dan kegelisahan. Sebagai akibatnya masyarakat modern menjadi kehilangan visi keilahian dan pada akhirnya melahirkan gejala psikologis juga problem spiritual . Dalam hal inipun Ismul dalam karyanya tasawuf dan krisis (2001:107) mengatakan, “banyak kita jumpai orang-orang yang menghadapi problem psikologis yang disebabkan oleh permasalahan spiritual seperti stress, resah, bingung, gelisah dan seterusnya yang salah satu penyebabnya adalah tidak memiliki kepastian otoritas dan orientasi sebagai pegangan hidup yang berporos pada Tauhidullah (keesaan Allah).

Pada masyarakat Barat modern atau masyarakat yang mengikuti peradaban Barat yang sekular, solusi yang ditawarkan untuk mengatasi problem kejiwaan itu dilakukan dengan menggunakan pendekatan psikologi atau disebut dengan Kesehatan Mental. Sedangkan pada masyarakat Islam, solusi yang ditawarkan lebih bersifat religius- spiritual, yakni Tazkiyatun nafs atau pensucian jiwa dalam upaya terbentuknya pribadi muslim yang memiliki kemurnian Tauhid (Shofa’ut Tauhid).

Jiwa atau nafs setiap orang memiliki kualitas yang berbeda-beda tergantung bagaimana usaha masing-masing menjaganya dari hawa nafsu, yakni kecenderungannya kepada syahwat, karena menuruti dorongan syahwat itu, seperti yang dikatakan oleh al-Maraghi, merupakan tingkah laku hewan yang dengan itu manusia telah menyia-nyiakan potensi akal yang menandai keistimewaanya. Secara ekplisit Al-Qur’an membagi tingkatan nafs pada tiga kelompok besar, yaitu: Al-nafs al-muthma’innah, al-nafs al-lawwamah dan al-nafs al-ammarah bi al-su.

Ketiga jenis nafs tersebut merupakan tingkatan kualitas, dari yang terendah hingga yang tertinggi. Ayat-ayat yang secara ekplisit menyebut ketiga jenis nafs itu terdapat pada QS. Al-Fajr: 27-30, QS. Al-qiyamah: 1-2, QS. Yusuf: 53 QS. Al-Kahfi: 74

Dari empat tingkatan itu dapat digambarkan bahwa pada mulanya, ketika seorang manusia belum mukallaf, jiwanya masih suci (zakiyah). Ketika sudah mencapai mukallaf dan berinteraksi dengan lingkungan kehidupan yang menggoda, jika ia merespons secara positif terhadap lingkungan hidupnya maka nafs itu dapat meningkat menjadi nafs muthma’innah setelah terlebih dahulu berproses dalam tingkatan nafs lawwamah. Setiap nafs yang telah mencapai tingkat mutma’innah pastilah ia menyandang predikat nafs zakiyah pula. Akan tetapi jika nafs itu merespons lingkungan secara negatif, maka ia dapat menurun menjadi nafs al-ammarah bi al-suu.

Urgensi Tazkiyah al-Nafs

Salah satu tujuan utama diutusnya Nabi Muhammad SAW adalah untuk membimbing umat manusia dalam rangka membentuk jiwa yang suci (QS.Al-Jumu’ah: 2)

Dengan demikian, seseorang yang mengharapkan keridhaan Allah dan kebahagiaan abadi di hari akhir hendaknya benar-benar memberi perhatian khusus pada tazkiyatun nafs (penyucian jiwa). Ia harus berupaya agar jiwanya senantiasa berada dalam kondisi suci. Kedatangan Rasulullah SAW. ke dunia ini tak lain adalah untuk menyucikan jiwa manusia. Ini sangat terlihat jelas pada jiwa para sahabat antara sebelum memeluk Islam dan sesudahnya. Sebelum mengenal Al-Islam jiwa mereka dalam keadaan kotor oleh debu-debu syirik, ashabiyah (fanatisme suku), dendam, iri, dengki dan sebagainya. Namun begitu telah disibghah (diwarnai) oleh syariat Islam yang dibawa Rasulullah SAW., mereka menjadi bersih, bertauhid, ikhlas, sabar, ridha, zuhud dan sebagainya.

Hakekat Tazkiyatun Nafs

Secara umum aktivitas tazkiyatun nafs seperti yang diungkapkan Simul mengarah pada dua kecenderungan, yaitu : Takhali (Membersihkan jiwa dari sifat-sifat tercela, membuang seluruh penyakit hati) dan Tahalli (Menghiasi jiwa dengan sifat-sifat terpuji). Kedua hal itu harus berjalan seiring, tidak  hanya dilakukan satu bagian kemudian meninggalkan bagian yang lain. Jiwa yang hanya dibersihkan dari sifat tercela saja, tanpa dibarengi dengan menghiasi dengan sifat-sifat kebaikan menjadi kurang lengkap dan tidak sempurna. Sebaliknya, sekedar menghiasi jiwa dengan sifat terpuji tanpa menumpas penyakit-penyakit hati, juga akan sangat ironis. Tidak wajar.

Wasilah (sarana)Tazkiyatun Nafs

Wasilah (sarana) untuk men-tazkiyah jiwa tidak boleh keluar dari patokan-patokan syar’i yang telah ditetapkan Allah dan rasulNya. Seluruh wasilah tazkiyatun nafs adalah beragam ibadah dan amal-amal shalih baik ibadah yang bersifat pisik, lisan maupun ibadah hati yang telah disyariatkan di dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Sesungguhnya rangkaian ibadah yang diajarkan Allah dan RasulNya telah memuat asas-asas tazkiyatun nafs dengan sendirinya. Bahkan bisa dikatakan bahwa inti dari ibadah-ibadah seperti shalat, puasa, zakat, haji dan lain-lain itu tidak lain adalah aspek-aspek tazkiyah.

Manfaat Tazkiyatun Nafs bagi Kesehatan Jasmani.        

Para ahli spiritual dan pengobatan sejak jaman Nabi sampai sekarang menyatakan, dzikir dan do’a merupakan suatu kesatuan yang utuh yang mengandung kekuatan yang luar biasa, yang mampu memberi keyakinan dalam semangat hidup dan memulihkan kesehatan seseorang. Keyakinan ini sangat diperlukan oleh siapapun, terlebih lagi bagi orang yang menderita sakit, terutama bagi penyakit yang tergolong sulit untuk disembuhkan.

Sejalan dengan pemahaman di atas, Syaikh Hakim Mu’inuddin Chisty dalam karyanya Penyembuhan cara sufi menyatakan, cara peyembuhan penyakit fisik yang diakibatkan oleh psikis, dapat dilakukan dengan melakukan ajaran Islam, yaitu: dengan puasa, shalat dan membaca al-Qur’an, dan dibantu dengan ramuan, serta memperhatikan pola konsumsi makan.

Gerakan shalat, lanjutnya, pertama, dengan mengangkat tangan dengan ucapan Allahu Akbar; dapat merangsang jantung, kelenjar gondok, kelenjar pineal. Postur kedua, meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri di bawah puser. Postur ketiga, membungkukkan punggung dan meletakkan telapak tangan di atas lutut dengan jari direnggangkan. Manfaatnya adalah darah dipompa  ke batang tubuh bagian atas melonggarkan otot perut dan ginjal. Postur keempat, bangkit dari posisi duduk. Manfaatnya adalah darah yang segar yang naik ke batang tubuh dengan membawa toksin. Postur kelima, meletakkan kedua tangan di atas lutut, lalu merendahkan tubuh, enteng ke posisi berlutut. Manfaatnya adalah, mengembangkan otot-otot perut, menambah aliran darah ke bagian atas tubuh, paru-paru dan mempertahankan posisi yang benar dari janin pada wanita hamil dan mengurangi darah tinggi. Postur keenam, bangkit dari posisi lima lalu duduk. Manfaatnya, adalah membantu mnghilangka efek racun pada hati dan merangsang gerakan usus besar. Postur ketujuh, mengurangi gerakan-gerakan postur lima persis. Manfaatnya adalah, dapat membersihkan sistem pernafasan, penyebaran oksigen ke seluruh tubuh. Posyur kedelapan, duduk,. Manfaatnya adalah dapat membantu dalam penekanan otot pada tumit, pangkal paha. Postur kesembilan, menolehkan kepala ke kanan dan ke kiri, sejauh mungkin dengan mengucapkan assalamu’alaikum warahmatullahi wa barakaatuh. Manfaatnya adalah, dapat menguatkan otot leher. Selain shalat, para sufi juga menggunakan puasa sebagai cara penyengbuhan penyakit. Dengan berpuasa, dapat membersihkan kembali proses pencernaan dan memperbaiki metabolisme tubuh, sekaligus sebagai pengobatan alamiah yang paling dikenal.

Wallahua’lam bishowab

Penulis Rudy Irawan, S.Pd.I, M.S.i
Editor Abdul Qodir Zaelani

 

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *