PROFIL KETELADANAN KELUARGA NABI IBRAHIM AS[1]
Oleh : Dr. H. Khairuddin Tahmid, MH [2]
اللهُ اَكْبَرْ 9)×)
اللهُ اَكْبَرْ كَبِيْرًا وَالحَمْدُ لِلّهِ بُكْرَةً وَأصِيْلاً لاَ اِلَهَ اِلاَّ اللهُ وَاللهُ اَكْبَرْ اللهُ اَكْبَرْ وَ للهِ اْلحَمْدُ
اَلْحَمْدُ للهِ الَّذِى جَعَلَ لِلْمُسْلِمِيْنَ عِيْدَ اْلفِطْرِ بَعْدَ صِياَمِ رَمَضَانَ وَعِيْدَ اْلاَضْحَى بَعْدَ يَوْمِ عَرَفَةَ.
اَشْهَدُ اَنْ لاَ اِلَهَ اِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ لَهُ اْلمَلِكُ اْلعَظِيْمُ اْلاَكْبَرْ وَاَشْهَدٌ اَنَّ سَيِّدَناَ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. اللهُمَّ صَلِّ عَلىَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَلِهِ وَاَصْحَابِهِ الَّذِيْنَ اَذْهَبَ عَنْهُمُ الرِّجْسَ وَطَهَّرَ اَمَّا بَعْدُ. فَيَا عِبَادَاللهِ اِتَّقُوااللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ اِلاَّ وَاَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ
Kaum Muslimin Muslimat, Jama’ah Sholat ‘Idul Adha yang semoga semuanya dimuliakan Allah SWT
Di pagi hari yang penuh barokah ini, kita berkumpul untuk melaksanakan shalat ‘Idul Adha di tempat ini. Baru saja kita laksanakan ruku’ dan sujud sebagai manifestasi perasaan taqwa kita kepada Allah SWT. Kita agungkan nama-Nya, kita gemakan takbir dan tahmid sebagai pernyataan dan pengakuan atas keagungan Allah.
Salah satu yang amat kita butuhkan dalam menjalani kehidupan yang baik adalah keteladan dari sosok orang yang bisa diteladani. Dengan adanya keteladan, kita memiliki tolok ukur untuk menilai apakah perjalanan hidup kita sudah baik atau belum. Karena itu, hari ini kita kenang kembali manusia agung yang diutus oleh Allah SWT untuk menjadi Nabi dan Rasul, yakni Nabi Ibrahim as beserta istrinya Siti Hajar dan putaranya Ismail as. Keagungan pribadinya membuat kita semua harus mampu mengambil keteladanan darinya, Allah SWT berfirman:
“Sesungguhnya telah ada suri teladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia.” (QS Al Mumtahanah: 4).
Dari sekian banyak hal yang harus kita teladani dari Nabi Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia serta mengambil hikmah dari pelaksanaan ibadah haji yang sedang berlangsung di tanah suci, sedikitnya ada 3 (tiga) hikmah yang menjadi isyarat bagi kaum muslimin dan muslimat untuk mewujudkannya dalam kehidupan ini. Sebagaimana keinginan Nabi Ibrahim as yang tercermin dalam do’anya disebutkan Allah SWT dalam firman-Nya :
(Ibrahim berdo’a): “Ya Tuhanku, berikanlah kepadaku hikmah dan masukkanlah aku ke dalam golongan orang-orang yang saleh, dan jadikanlah aku buah tutur yang baik bagi orang-orang (yang datang) kemudian, (QS As Syu’ara: 83-84).
Ayat di atas mengandung makna simbolik yang mendalam, pertama, substansi doa yang diinginkan Nabi Ibrahim adalah memiliki ilmu. Dengan ilmu manusia bisa saja masuk surga dengan selamat, dan dengan ilmu pula manusia bisa saja masuk neraka, jika ilmunya digunakan untuk hal-hal yang negatif, bahkan memperoleh siksa yang lebih dahsyat, Rasulullah saw bersabda:
أَشَدُّ النَّاسِ عَذَابًا عِنْدَ اللهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَالِمٌ لَمْ يَنْفَعْهُ عِلْمُهُ
“Orang yang paling keras siksanya pada hari kiamat adalah orang yang berilmu tapi tidak dimanfaatkannya.” (HR. Thabrani dari Abu Hurairah ra).
Kedua, intisari do’a Nabi Ibrahim As adalah meminta kepada Allah SWT agar dimasukkan ke dalam golongan orang yang shaleh, padahal Ibrahim adalah seorang Nabi yang sudah pasti shaleh, tapi masih saja ia berdo’a agar dimasukkan ke dalam kelompok orang yang shaleh. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya menjadi orang shaleh dan beliau tidaklah merasa tinggi hati dengan keshalehannya, hingga akhirnya ia tetaplah berdo’a meminta dimasukkan ke dalam golongan orang yang shaleh. Ketiga, Nabi Ibrahim as berdoa agar menjadi buah tutur yang baik bagi orang-orang yang datang kemudian. Tentu sebagai seorang Nabi, Ibrahim as tidak berucap atau bertindak yang buruk kepada keluarga dan kaumnya, meskipun begitu beliau khawatir bila ada saja orang yang membicarakan keburukannya. Oleh karena itu, kesempatan hidup kita yang amat terbatas, seharusnya digunakan untuk membuat sejarah hidup yang mulia, sehingga menjadi bahan pembicaraan yang baik, bagi generasi berikutnya. Manusia terbaik adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain, Rasulullah SAW bersabda:
خَيْرُالنَّاسِ أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ
“Sebaik-baik orang adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain.” (HR. Qudha’i dari Jabir ra).
Dari uraian di atas, dapat kita ambil pelajaran bahwa meneladani Nabi Ibrahim As yang ajarannya terus dilesteraikan dan dikembangkan oleh Nabi Muhammad SAW meniscayakan kita untuk selalu berusaha memperbaiki diri dan keluarga serta memperbaiki orang lain untuk selanjutnya terus bergerak dalam menegakkan nilai-nilai kebenaran dan mau berkorban untuk mencapainya.
Allahu Akbar 3x Walillahil Hamd
Kaum muslimin muslimat, hadirin hadirat jama’ah ‘Idul Adha yang berbahagia
Sisi lain dari kekhasan berupa perbedaan dan keunggulan, distingsi dan exellence dari sosok Nabi Ibrahim As ialah besarnya pengorbanan yang ditunjukkan kepada Allah melalui ketulusannya dalam mengorbankan putra kesayangannya, Nabi Isma’il As. Kisah keluarga Nabi Ibrahim sarat akan pesan-pesan moral. Nabi Ibrahim adalah simbol bagi manusia yang rela mengorbankan apa saja demi mencapai keridhaan Tuhan, rela menyembelih anaknya, bahkan rela mengorbankan diri dalam kobaran api.
Setiap orang mempunyai kelemahan terhadap sesuatu yang dicintainya. Kelemahan Nabi Ibrahim terletak pada anak kesayangannya yang sudah lama didambakannya, dan dari sini pula kembali diuji oleh Allah berupa godaan setan, tetapi Nabi Ibrahim lulus dari ujian itu. Ia secara tulus dan ikhlas mau mengorbankan putra kesayangannya. Sedangkan Nabi Isma’il adalah simbol bagi sesuatu yang paling dicintai dan sekaligus berpotensi melemahkan dan menggoyahkan iman, simbol bagi sesuatu yang dapat mengajak kita untuk berpikir subyektif dan berpendirian egois. Mari kita mengintrospeksi dan mengukur diri kita masing-masing. Betapa mulya sosok Nabi Ibrahim, yang demikian tangguh keimanan dan komitmennya dalam memegang prinsip-prinsip hidup, dengan menunjukkan pengorbanan yang optimal ke jalan yang diridhai Allah SWT.
Jika kita misalnya, sedang berada di puncak karir, sudah relakah kita mengorbankan segalanya demi mempertahankan prinsip-prinsip ajaran yang dianut? Nabi Isma’il simbol bagi sesuatu yang amat kita cintai, sudah barang tentu kita semua memiliki sesuatu yang dicintai. Boleh jadi Isma’il-Isma’il kita, berbentuk harta kekayaan, semisal kendaraan baru, rumah mewah, jabatan penting, deposito, atau kekayaan lainnya. Apakah kita sudah rela mengorbankannya untuk mencapai tujuan hidup yang sebenarnya, yaitu mencapai ridha Allah? Jika kita sebagai suami, sudah sanggupkah kita meniru ketangguhan iman Nabi Ibrahim, mengorbankan sesuatu yang paling dicintainya, demi mengamalkan perintah Allah? Jika kita sebagai istri, sudah sanggupkah kita meniru ketabahan dan ketaatan Siti Hajar, merelakan suaminya menjalankan perintah Allah dan menghargai jiwa besar anaknya? Jika kita sebagai anak, sudahkah kita memiliki idealisme yang setangguh Nabi Isma’il yang rela menjadi korban untuk suatu tujuan mulia? Semua pertanyaan di atas, yang bisa menjawabnya adalah masing-masing kita.
Allahu Akbar 3x Walillahil Hamd
Kisah-kisah yang ditampilkan Al-Qur’an sangat patut menjadi pembelajaran buat kita semua. Nabi Ibrahim melahirkan anak paling sejati di sebutkan dalam Al-Qur’an (Q.S. al-Shaffat : 102). Ismail, bagi Nabi Ibrahim bukan hanya sebagai anak biologis, melainkan sekaligus anak spiritual. Bandingkan dengan putra Nabi Nuh, meskipun ia seorang putra biologis Nabi, tetapi ia menjadi pembangkang dan kufur. Itulah sebabnya putra Nabi Nuh dicap hanya sebagai anak biologis, tetapi bukan anak spiritual ayahnya (Q.S. Hud : 46).
Fir’aun adalah sosok manusia paling angkuh yang tersebut dalam al-Qur’an, tetapi isterinya mendapatkan pujian sebagai isteri shalehah yang beriman (Q.S. At-Tahrim: 11). Bandingkan dengan istri paling pengkhianat dalam Al-Qur’an ternyata istri Nabi Luth dan Nabi Nuh (Q.S. At-Tahrim : 10). Ini merupakan pelajaran penting buat kita bahwa kehebatan atau kelemahan sosok pribadi dalam keluarga bukan jaminan bagi keluarga lainnya untuk melakukan hal yang sama.
Semoga anak keturunan kita tidak hanya menjadi anak keturunan biologis kita, tetapi sekaligus menjadi anak keturunan spiritual kita. Semoga istri/suami kita bukan hanya istri/suami biologis kita, melainkan sekaligus istri/suami spiritual kita. Hari raya Idul Adha ini kita jadikan sebagai momentum yang baik untuk mempersiapkan generasi yang berkualitas, suatu generasi yang betul-betul terpilih (the chosen people) atau umat pilihan (khairu ummah) menurut istilah Al-Qur’an (Q.S. Ali Imran : 110).
Al-Qur’an memberikan warning bagi kita agar tidak meninggalkan generasi lemah dan tidak punya daya saing :
Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka generasi yang lemah… “ (Q.S. an-Nisa : 9).
Sebaliknya, Al-Qur’an memberikan dorongan untuk mempersiapkan generasi yang betul-betul professional, memiliki kemampuan kompetisi yang handal, generasi yang kuat dan terpercaya, sebagaimana dilukiskan dalam al-Qur’an :
“… sesungguhnya generasi yang paling baik yang kamu pilih untuk bekerja ialah generasi yang kuat lagi dapat dipercaya” (Q.S. al-Qashash : 26)
Generasi al-qawiyyul amin menurut ulama tafsir ialah generasi yang sehat jasmani dan rohani, serta memiliki berbagai kecerdasan, keterampilan, dan keunggulan, di samping kejujuran dan amanah. Dengan demikian, generasi yang kita persiapkan ialah generasi al-qawiyyul amin, yakni generasi tangguh dan terpercaya yang mampu membawa kemashlahatan fiddini, waddunya hattal akhirah, amiin ya robbal alamin.
Akhirnya, marilah kita tutup khutbah ini dengan do’a, semoga Allah SWT mengabulkan permohonan kita semua.
[1]Teks khtbah ini disampaikan pada sholat ‘idul adha KEMENAG Provinsi Lampung di Lapangan Korem 043 Garuda Hitam/Enggal Bandar Lampung Tahun 1437 H/2016 M.
[2]Khotib adalah Ketua Umum MUI Provinsi Lampung/ Dosen Fakultas Syariah dan Hukum IAIN Raden Intan Lampung.