Politik Santun Cermin Budaya Islam

Share :

religion-politics

POLITIK tak lagi sesuatu yang tabu untuk dibicarakan. Mulai dari tempat yang istimewa sampai warung kopi, obrolan politik selalu menempati rating tertinggi dibanding topik lain. Bahkan, seringkali menghiasi perbincangan jemaah di teras masjid usai salat tarawih bulan puasa lalu. Apalagi jika telah memasuki topik pemilihan umum kepala daerah (pemilukada), obrolan makin bersemangat, meskipun daerah yang bakal menggelar pesta demokrasi itu letaknya sangat jauh dari tempat mereka.

Politik memang fenomena. Perbincangan bertajuk ini memang selalu menggelitik hasrat orang untuk ikut ikutan ngomong politik, tak peduli apakah ia politisi, ulama atau strata sosial lainnya. Apalagi, Islam bukan agama yang cuma mengatur tentang salat, puasa, haji, dan zakat. Islam juga hadir untuk menata kehidupan manusia. Bahkan, agama samawi ini menganjurkan untuk berpolitik secara bersih, bebas dari tekanan dan suap. Di sinilah peran ulama untuk membimbing para pelaku politik agar bisa menumpahkan hasrat politiknya secara santun, sesuai prinsip Islam di dalam al-Quran dan al-hadist.

Syekh Abdul Qadir Jailani membagi tiga syarat ulama yang bisa membimbing para pelaku politik supaya berjalan lurus. Yaitu ulama yang ilmunya sangat dalam (ilmu al-ulama), memilki kemampuan berpolitik yang dimiliki para raja (siyasah al-muluk) dan ulama yang memiliki kebijaksaan tinggi (hikmah al-hukama).

Ketiga syarat itu akan membuat peran ulama menjadi indah dalam spectrum politik kenegaraan. Ia akan menjadi tempat para petinggi pemerintahan, para petinggi partai politik dan pelaku politik lainnya untuk meminta nasihat, pandangan dan langkah yang akan diambil untuk kemaslahatan umat.

Salah satu contoh pada 10 November 1945, sebelum Bung Tomo menggelorakan semangat para pemuda untuk melawan penjajah di Surabaya yang kemudian tanggal tersebut dikenang sebagai Hari Pahlawan Bung Tomo meminta nasihat terlebih dahulu tentang apa yang mesti ia lakukan  kepada K.H Hasyim Ashari, ulama kondang yang namanya tetap harum sampai kini. Sejarah membuktikan bahwa peran ulama amat penting dalam perjalanan bangsa dan negara ini.

Ulama adalah orang yang berilmu dan seperti halnya para ilmuwan, keilmuwan para ulama  berbeda. Ada ulama yang ahli hadist, ada pula ahli fikih dan ulama yang ahli dalam bidang politik kenegaraan. Mereka disebut ulama, karena ketakutannya kepada Allah swt–zat yang maha berkuasa atas segala sesuatu–sangat tinggi atau sering kita sebut khosyatullah.

Para ulama akan selalu bersikap santun ketika menegur, menasehati atau saat tidak sejalan dengan alam pikirannya dalam melihat situasi politik yang tidak menentu. Kesantunan ini terwujud dengan cara yang elegant, misalnya, seorang ulama akan menemui para pelaku politik secara langsung dan mengingatkan supaya tidak bertindak menyakiti hati rakyat. Ulama tidak akan menegur dan mempermalukan pelaku politik di depan rakyat.

Islam dan politik

Sebenarnya, banyak pemeluk agama Islam tidak setuju dengan politik dalam Islam, karena anggapan ranah ini penuh dengan kebusukan, kebencian dan  kemunafikan.

Pendek kata politik adalah semua yang bertalian dengan kemungkaran. Anggapan itu tidak selamanya benar kalau kita melihat esensi politik yang berarti mengatur, memerintah dan mengelola kepentingan publik dengan baik.  Dalam bahasa Arab, politik disebut dengan as-siyasah.

Memang secara tekstual istilah politik tidak pernah ada dalam Islam, tetapi esensi dari politik tidak terbantahkan dalam Islam, yaitu memimpin dan dipimpin. Imam Bukhari dari Abu Hurairah r.a mengatakan dahulu bani Israil dipimpin para nabi, Artinya, masyarakat harus memiliki pemimpin yang memimpin mereka ke jalan ilahiah dan mencegah dari perbuatan munkar yang dilakukan keduanya.

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul, serta ulil amri di antara kalian. Kemudian apabila kalian berselisih tentang suatu perkara maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul, jika kalian beriman kepada Allah dan hari akhir. Hal itu adalah yang terbaik untuk kalian dan paling bagus dampaknya.”. (QS. an-Nisaa’: 59).

Dalam tafsir bebas menaati pemimpin tentu maknanya ada orang yang dipimpin.Dalam skala kecil memilih pemimpin bisa dengan bermusyawarah, seperti memilih ketua RT dan setingkatnya. Tetapi, ketika memilih pemimpin telah memasuki ranah yang lebih luas diperlukan pemungutan suara, yang kita kenal dengan sebutan pemilihan umum. Dengan demikian semakin tidak terbantahkan jika berpolitik bukanlah barang busuk yang mesti dihindarkan.

Rasulullah Saw bersabda bahwa setiap amal itu tergantung pada niatnya. Setiap orang mendapatkan apa yang diniatkannya. Dari terjemahan bebas hadist ini, politik jika dilandasi keinginan untuk mengubah sesuatu yang buruk menjadi baik sesuai ajaran Islam, maka berpolitik bukanlah barang busuk yang mesti dijauhkan.

Kepemimpinan merupakan sesuatu yang sangat vital dan mendasar dalam kehidupan bermasyarakat. Oleh karena itu, Islam mewajibkan umatnya untuk memilih pemimpin. sebab pimpinan yang akan mengatur, menertibkan dan menjalankan hukum secara baik dan benar dalam masyarakatnya.

Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Abu Dawud, Nabi Muhammad Saw bersabda, “Apabila ada tiga orang yang mengadakan perjalanan maka hendaknya mereka menjadikan satu di antara mereka sebagai pemimpin”.

Dalam kaidah hukum Islam, terpilihnya pemimpin yang adil adalah tujuan, sedangkan pemilu adalah alat (wasilah). Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa, mengangkat seorang pemimpin adalah suatu keharusan. Pemilu merupakan satu cara yang ditempuh untuk memilih pemimpin.

Pemilu merupakan salah satu implementasi prinsip kedaulatan rakyat. Keterlibatan warga masyarakat dalam memutuskan hal-hal yang menyangkut kepentingan mereka, termasuk siapa yang hendak dipilih/diangkat sebagai wakil pemimpin mereka.

Suksesi kepemimpinan dalam Islam, terutama pada sejarah awal perpolitikan berbeda-beda polanya. Rasulullah menjadi pemimpin melalui kesepakatan yang alami. Sedangkan sahabat Abu Bakar yang menggantikan Rasulullah sebagai khalifah pertama melalui dukungan beberapa orang tokoh, terutama dari kalangan Muhajirin dalam peristiwa Tsaqifah Bani Sai’dah; diawali oleh Umar bin Khattab, diikuti oleh Ustman bin Affan, kemudian yang lainnya.

Sementara penobatan Umar bin Khattab sebagai khalifah kedua, menggantikan khalifah Abu Bakar terjadi melalui penunjukan oleh Abu Bakar sendiri, dan kemudian baru diikuti oleh masyarakat luas. Lain lagi dengan Khalifah Usman, beliau tampil menjadi khalifah ketiga melalui formatur (ahlal-halli wa-‘al aqdi) sebanyak enam orang yang ditunjuk sendiri oleh Umar bin Khattab. Kemudian Syaidina Ali menjadi Khalifah keempat-menggantikan khalifah Usman melalui dukungan sebagian sahabat, terutama dari veteran perang badar.

Selanjutnya, Muawiyah bin Abu Sufyan menjadi Khalifah menggantikan Ali Bin Abi Tholib melalui perebutan kekuasaan. Sedangkan Yazid bin Muawiyah, suksesi kepemimpinan terjadi melalui pewarisan kepada anak atau kerabat seperti lazimnya sistem monarki, barangkali suatu suksesi kepempinan yang sejatinya tidak sejalan dengan idealitas Islam.

Pemilu adalah kreasi peradaban perpolitikan modern. Karena itu ia tidak dikenal dalam sejarah politik Islam. Namun, sebagain besar ulama berpendapat Pemilu tidak bertentangan dengan Islam. Sistem ini merupakan kreasi peradaban modern yang tidak bertentangan, atau bahkan sangat sejalan dengan semangat ajaran Islam, yakni tentang konsep as-Syura atau Musyawarah. Syura’ secara harfiah berarti ‘saling memberi saran’, atau rembukan (mutual consultation), yang memang tidak harus selalu dengan mulut (verbal) dan langsung (direct). Wallahu a’lam bis shawab.

Penulis Alhuda Muhajirin / Komisi Infokom MUI Lampung
Editor

Abdul Qodir Zaelani

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *