Toleransi menjadi suatu hal yang terus menarik untuk didiskusikan dan dibahas. Belakangan ini, agama adalah sebuah nama yang terkesan membuat gentar, menakutkan, dan mencemaskan. Agama di tangan para pemeluknya sering tampil dengan wajah kekerasan. Fenomena yang juga terjadi saat ini adalah muncul dan berkembangnya tingkat kekerasan yang mengatasnamakan agama sehingga realitas kehidupan beragama yang muncul adalah saling curiga mencurigai, saling tidak percaya, dan hidup dalam ketidakharmonisan.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, toleransi diartikan sebagai sifat atau sikap menenggang (menghargai, membirakan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan, dan sebagainya) yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri. Dalam bahasa Arab modern, toleransi disebut dengan al-tsaamuh atau al-samaahah. Berasal dari kata samaha yang maknanya berkisar pada; berbaik hati dan memberi secara dermawan dan dengan niat mulia; mudah; taat dan tunduk; kelapangan hati. Sikap keberagaman yang baik, dalam salah satu hadits Rasulullah Saw disebut al-haniiffiyyah al-samhah karena memberikan kemudahan dan tidak mempersulit.
Kata tasamuh atau samaahah dan derivasinya tidak ditemukan dalam Al-Qur’an. Sedangkan dalam hadits dapat ditemukan seperti dalam ungkapan “ismah yusmah laka” (permudahlah, niscaya Anda akan dipermudah), “al-samaah rabaah” (memudahkan dalam segala sesuatu akan menguntungkan pelakunya). Meski tidak ditemukan dalam Al-Qur’an, makna toleransi seperti dikemukakan di atas dapat ditelusuri melaui kata kunci atau term yang terkait dengan itu seperti al-rahmah, al-‘afw dan al-shafhu.
Al-Qur’an tidak pernah menyebut-nyebut kata tasamuh/toleransi secara tersurat hingga tidak akan pernah menemukan kata tersebut termaktub di dalamnya. Namun, secara eksplisit al-Qur’an menjelaskan konsep toleransi dengan segala batasan-batasannya secara jelas dan gambling. Oleh karena itu, ayat-ayat yang menjelaskan tentang konsep toleransi dapat dijadikan rujukan dalam implementasi toleransi dalam kehidupan. Firman Allah dalam Q.S. Al-Hujurat ayat 13: “Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Q.S. Al-Hujurat: 13).
Konsep toleransi yang ditawarkan Islam sangatlah rasional dan praktis serta tidak berbelit-belit. Namun, dalam hubungannya dengan keyakinan (akidah) dan ibadah, umat Islam tidak mengenal kata kompromi. Ini berarti keyakinan umat Islam kepada Allah tidak sama dengan keyakinan para penganut agama lain terhadap tuhan-tuhan mereka. Demikian juga dengan tata cara ibadahnya. Bahkan Islam melarang penganutnya mencela Tuhan dalam agama manapun. Kata tasamuh atau toleransi dalam Islam bukanlah “barang baru”, tetapi sudah diaplikasikan dalam kehidupan sejak agama Islam itu lahir.
Dalam ayat 13 surat al-Hujurat, Allah menyatakan bahwa orang mu’min bersaudara, dan memerintahkan untuk melakukan ishlah (perbaikan hubungan) jika seandainya terjadi kesalahpahaman di antara 2 orang atau kelompok kaum Muslim. Al-Qur’an telah memberikan contoh-contoh penyebab keretakan hubungan sekaligus melarang setiap Muslim melakukannya.
Ayat di atas juga memerintahkan orang mu’min untuk menghindari prasangka buruk, tidak mencari-cari kesalahan orang lain, serta menggunjing. Al-Qur’an mengibaratkannya seperti memakan daging saudara sendiri yang telah meninggal dunia. sebagaimana dalam Q.S. Al-Hujurat ayat 12: “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), Karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang”.
Secara sosiologis, manusia merupakan makhluk yang bermasyarakat. Kehidupannya di atas dunia ini bersifat dependen, dalam arti eksistensinya, baik secara individual maupun komunal, tidak bisa lepas dari “campur tangan” pihak lain. Al-Quran menyebut salah satu fase penciptaan manusia dengan ‘alaq yang selain dapat dipahami sebagai “keadaan berdempet pada dinding rahim” juga pada hakikatnya menggambarkan bahwa manusia diciptakan dalam keadaan selalu bergantung pada pihak lain, atau dengan kata lain tidak dapat hidup sendiri.
Di sisi lain, dunia yang dihuni manusia bukanlah dunia yang singular-seragam atau semacam. Sebaliknya, Allah menciptakannya penuh dengan keragaman dalam berbagai aspek, seperti lingkungan, atau spesies yang hidup di dalamnya. Masing-masing hidup dalam kelompok yang saling berkaitan. Muhammad Imarah menjelaskan bahwa segala sesuatu selain Allah merupakan objek dari keanekaragaman. Hanya Allah yang benar-benar merupakan satu kesatuan yang mutlak (true unity). Jika dicermati, Allah Swt sebenarnya banyak menyinggung masalah pluralisme dalam al-Quran. Dalam surat al-Rum (30): 22 misalnya, Allah Swt menyatakan bahwa manusia diciptakan dalam berbagai warna kulit dan bahasa, “Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui”. Selanjutnya dalam surat al-Hujurat (49) ayat 13, Allah Swt juga menyebutkan penciptaan manusia ke dalam suku-suku dan bangsa-bangsa, “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal…”. Bahkan, dengan redaksi yang lebih mempertegas eksistensi pluralisme, dalam surat al-Maidah (5) ayat 48.
Sebagai sebuah sunnatullah, kemajemukan yang melandasi setiap sendi kehidupan manusia, tentu saja tidak terlepas dari latar belakang, sebab dan tujuan. Dari kutipan beberapa ayat di atas akan didapati kesan bahwa realitas tersebut sarat manfaat, tidak saja bagi manusia, namun juga bagi alam secara keseluruhan. Dalam surat al-Rum (30) ayat 22 di atas, umpamanya, Allah Swt menyatakan bahwa kemajemukan merupakan salah satu tanda kebesaran dan manifestasi kemahakuasaan-Nya.
Demikian juga pada surat al-Hujurat (49) ayat 13 diterangkan bahwa dijadikannya manusia bersuku-suku dan berbangsa-bangsa adalah dalam rangka ta’âruf (saling mengenal). Akan tetapi, ta’âruf yang dimaksud tentu saja tidak berhenti pada makna kebahasaan saja, yaitu “keadaan saling mengenal”, namun ditekankan kepada dampak turunannya yang lebih besar, yaitu saling mengenal kelebihan dan kekurangan masing-masing untuk kemudian saling bekerjasama dan mengambil manfaat (keuntungan). Hasilnya, akan timbul lompatan-lompatan kemajuan (taqaddum) dalam peradaban umat manusia itu sendiri.
Yusuf al-Qaradhawi mengatakan bahwa toleransi dalam Islam dibangun di atas beberapa landasan pokok, yaitu:
- Prinsip tentang kemuliaan manusia betapapun beragamnya kehidupan mereka. Allah menegaskan hal ini dalam firman-Nya surat al-Isra: 70.
- Keyakinan bahwa pluralisme sudah merupakan kehendak Allah Swt yang tidak akan mengalami perubahan. Sebagai contoh, dalam kaitannya dengan pluralisme agama, Allah berfirman dalam surat Yunus: 99.
- Umat Islam meyakini bahwa mereka tidak bertanggungjawab terhadap jalan hidup yang dipilih oleh umat-umat lain. Kewajiban mereka hanya berdakwah, sementara pilihan antara iman atau tidak adalah urusan masing-masing pihak dengan firman Allah swt surat al-Kahfi: 29.
- Prinsip tentang keadilan, selama pihak lain berlaku sama. Allah Swt berfirman surat al Maidah: 8.
Pernyataan Yusuf al-Qaradhawi di atas, pada hakikatnya merupakan penegasan bahwa ajaran Islam tentang toleransi tidak dibangun diatas landasan yang rapuh, sebaliknya pada ajaran-ajaran fundamental yang masing-masing saling terkait. Satu hal yang agaknya dapat melengkapi dasar-dasar di atas bahwa parameter yang digunakan Islam dalam menilai sesuatu adalah parameter keruhanian (ketakwaan), bukan parameter fisik atau keduniaan. Hal ini terlihat pada kesan yang ditimbulkan oleh ayat dan hadis yang berbicara tentang kesetaran dan persamaan hak dan kewajiban secara umum.
Tentang batasan toleransi, Islam menekankannya pada prinsip keadilan. Surat al-Mumtahanah: 8-9, umpamanya, telah mencerminkan pola hubungan yang proporsional dan berkeadilan tersebut. Kesan yang dapat ditangkap dari ayat ini adalah bahwa toleransi dapat terus berjalan selama pihak luar berlaku adil terhadap umat Islam, dalam konteks ini adalah tidak memerangi kaum muslim karena alasan agama, tidak mengusir kaum Muslim dari negeri-negeri mereka, atau berkonspirasi dengan pihak lain untuk mengusir umat Islam. Akan tetapi, jika yang terjadi justru sebaliknya, maka tidak berlaku toleransi. Artinya, umat Islam harus bersikap tegas dengan memerangi mereka.
Al-Qur’an juga menganjurkan agar mencari titik temu dan titik singgung antar pemeluk agama. Al-Qur’an menganjurkan agar dalam interaksi sosial, bila tidak ditemukan persamaan, hendaknya masing-masing mengakui keberadaan pihak lain dan tidak perlu saling menyalahkan. “Bahkan al-Qur’an mengajarkan kepada Nabi Muhammad saw. dan ummatnya untuk menyampaikan kepada penganut agama lain setelah kalimat sawa’ (titik temu) tidak dicapai” (Q.S. Saba: 24-26).
Referensi
al-Husein bin Muhammad al-Raghib al-Asfahani, Mu’jam al-Mufradât li Alfâdz al-Quran, Cet ke-1, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1997.
Abi Abdullah At-Tirmidzi, Metafora Hikmah, Jakarta: Gema Insani Press, 2003.
Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta: Surya Cipta Aksara, 1993.
Dr. ‘Ala Abu Bakar, Islam yang Paling Toleran, terj. Mahfud Hidayat, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2005.
Dr. M. Quraish Syihab, Wawasan al-Qur’an Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat, Mizan: Bandung, 1996.
Didin Hafidhuddin, Islam Aplikatif, Jakarta: Gema Insani Press, 2003.
Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, Cet. 4, Jakarta: GP Press, 2011.
Ibn al-Atsir, Al-Nihayah fi Gharib al-Hadits wa al-Atsar, t.t.
Ismail bin Katsir, Tafsîr al-Quran al-‘Adzîm, Jilid-4, Beirut: Dar al-Jil, 1990.
Kementerian Urusan Agama Islam, Wakaf, Dakwah, dan Irsyad Kerajaan Saudi Arabia, al-Quran dan Terjemahnya. Medinah al-Munawwarah: Mujamma’ al-Malik Fahd, 1997.
Muhammad Bin Isma’īl Al-Shan’āni, Subul al-Salām, Semarang: CV. Toha Putera, 1993.
Muhammad Imarah, al-Ta’addudiyyah: al-Ru’yat al-Islâmiyyah wa al-Tahaddiyyat al-Gharbiyyah. Mesir: Dar al-Nahdhah, 1997.
Tirmidzi, Sunan at-Tirmidzi, Kairo, al-Halabiy, 1961.
Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, Kairo, al-Halabiy, 1901.
Yusuf al-Qaradhawi, Fatâwâ Mu’âshirah, Cet. ke-3, Jilid ke-2, Manshurah: Dar al-Wafa’, 1994.
Penulis | Muhammad Jayus, MHI |
Editor | Abdul Qodir Zaelani |