Hati yang Suci di Hari yang Fitri

Share :

HATI

Idul fitri merupakan anugrah kemenangan dari Allah Swt atas ketaatan, keimanan dan kesabaran menjalankan perintah dan menjauhi larangannya. Semua itu tentunya bersumbu pada kesucian hati sesorang dalam mengimani dan mengagungkan ke-Maha besaran Allah Swt.

Perkataan “Hati” dalam al-Qur’an disebut “al-qalbu”, yaitu sesuatu yang tidak tetap, selalu berubah-ubah. Kelabilan dan perubahan hati disebabkan ada dua kekuatan yang selalu tarik menarik di dalamnya: yakni, iman dan kufur, kebaikan dan keburukan, taat dan ingkar, dsb.

Hati adalah elemen yang terpenting dalam diri manusia, yang menentukan kemulianan atau kehinaannya; Rasulullah Saw bersabda: Sesungguhnya dalam jasad terdapat segumpal darah yang membeku, apabila segumpal darah itu baik, maka seluruh jasadnya baik, namun, apabila segumpal darah itu rusak, maka rusaklah seluruh jasadnya. Ketahuilah, sesungguhnya segumpal darh itu adalah hati” (HR Bukhari)

Hati yang suci, adalah hati yang dipenuhi dengan iman, hidayah, dan cahaya ilahi; Didalamnya terdapat luapan rindu, cinta, ketataan dan kepatuhan kepada Allah Swt; Ia merupakan termpat bersemayamnya nilai-nilai kebaikan, seperti tawakkal, sabar, qana’ah (puas), syukur, istiqamah (konsisten), tawadhu’ (rendah hati), santun, murah hati, pemaaf, husnuzzan (baik sangka), dan amanah (terpercaya). Ia terbebas dari belenggu kehinaan dan kenistaan, karena padanya tidak terdapat kekufuran, kemunafikan, kesombongan, tamak, rakus, hasad, khianat, dengki, riya’, ujub (bangga terhadap diri), bakhil, khianat, dan cinta dunia.

Relevansinya dengan puasa ramadhan, dan kemenagan idul fitri, tentu bukan sekedar ibadah musiman, lambang kebahagiaan dan kegembiraan semata, namun selalu konsisten dan istiqamah dalam kebaikan dan keburukan.

قال عمر بن عبد العزيز: لَيْسَ الْعَيْدُ لِمَنْ لَبِسَ الْجَدِيْدَ    إِنَّمَا الْعَيْدُ لِمَنْ خَافَ يَوْمَ الْوَعِيْدِ

Umar Bin Abdul Aziz berkata: Hari raya itu bukanlah milik orang yang memakai pakaian baru, Akan tetapi hari raya adalah milik orang yang  takut dengan hari pembalasan.”

Untuk mencapai kesucian, hati harus mengalami proses tazkiyah (pensucian) agar hati tidak diselimuti sifat-sifat tercela yang membuat hati menjadi keras (QS.16: 22), buta (QS.22: 46), sakit (QS.2: 10) dan mati (QS.2: 7). Apabila hati telah keras, buta, sakit, dan mati, maka hati tidak akan dapat menyerap ilmu dan hidayah Allah Swt; Aktivitas tubuh menjadi pasif, tidak efektif, dan sia-sia, sebab, hati tidak dapat memantulkan cahaya Ilahi dan tidak dapat berperan menjadi sumber inspirasi dan sosial kontrol bagi kerja tubuh.

“Orang mulia adalah orang yang hatinya selalu dipenuhi oleh kasih sayang yang tulus”

Manusia yang memiliki hati yang rusak, akan menjadi manusia yang kehilangan martabat dan jati dirinya. Ia akan menjadi budak nafsu yang cenderung melakukan apa saja yang bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan. Ia akan merampas hak orang lain, menindas, membunuh, memperovokasi, menghalalkan segala cara untuk mewujudkan kehendaknya, dan bahkan, ia menjadi manusia yang menebar penyakit dan bencana bagi penduduk bumi.

Ada tiga proses Tazkiyah (pensucian diri) yang harus kita lakukan agar hati menjadi suci.

Pertama; Muraqabah, menumbuhkan keyakinan dan dan kesadaran dalam hati bahwa kita berada dibawah pengawasan Allah Swt setiap saat. Allah Swt mengetahui apa yang tersembunyi dalam hati dan melihat setiap gerak dan langkah kita. “Wallahu ya’lamu ma fisshudur” “Waanta ‘allamul ghuyub”.

Kedua; Muhasabah, yakni introspeksi diri. Kita harus mampu melakukan penyadaran terhadap diri kita melalui penghitungan amal dan perbuatan; sudah berapa banyakkah amal dan perbuatan kita dalam putaran sehari, seminggu sebulan dan atau setahun ini? Pada tahap ini kita harus memperbanyak taubat dan ampunan kepada Allah Swt, serta berusaha untuk meningkatkan kualitas amal dan perbuatan kita

Ketiga; Muajahadah, yakni sebuah perjuangan spiritual (rohani) dengan mengerahkan segala potensi dalam rangka menjalankan tugas-tugas pengabdian kita kepada Allah Swt, serta menyingkirkan setiap hambatan-hambatan yang berusaha menghalangi pengabdian kita kepada-Nya. Pada tahap ini, dibutuhkan istiqamah (konsisten/teguh dalam pendiriannya), dibutuhkan ketekunan, dan kesabaran . Wallảhu a’lam.

Penulis  Drs. H. Khoirul Abror, MH (Komisi Pendidikan dan Kaderisasi MUI Lampung)
Editor  Rudi Santoso

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *