Uslub Ayat al-Qur’an

Share :

tafsir

Allah Swt telah menganugerahkan kepada manusia berbagai keistimewaan dan kelebihan serta memberinya kekuatan berfikir cemerlang yang dapat menundukkan unsur-unsur kekuatan alam dan menjadikannya sebagai pelayan bagi kepentingan manusia dan Allah Swt memberikan  bimbingan dari waktu ke waktu kepada manusia melalui sebersit wahyu sebagai petunjuk menempuh hidup dan kehidupan ini atas dasar keterangan dan pengetahuan. Namun watak manusia yang sombong dan angkuh terkadang menolak untuk tunduk kepada manusia lain yang serupa dengannya selama manusia lain itu tidak membawa kepadanya sesuatu yang tidak disanggupinya hingga ia mengakui, tunduk dan percaya akan kemampuan manusia lain itu yang tinggi dan berada di atas kemampuannya sendiri.

Secara bahasa, “Uslub” digunakan untuk barisan kurma. Jalan yang memanjang juga disebut uslub. Bisa dikatakan bahwa uslub adalah jalan, cara, dan mazhab. Seperti ungkapan “Antum fi uslûb sawâ”. Uslub juga berarti fann (seni). Dalam terminologi ahli Balaghahuslub adalah sebuah metode dalam memilih redaksi dan menyusunnya, untuk mengungkapkan sejumlah makna, agar sesuai dengan tujuan dan pengaruh yang jelas. Pengetian lainnya,uslub adalah berbagai ungkapan redaksi yang selaras untuk menimbulkan beragam makna yang dikehendaki. Dalam tradisi Barat ilmu ini dikenal dengan Stilistika. Style berasal dari kata stilus (Latin), yaitu alat tulis pada lempengan lilin.

Uslub al-Qur’an bukanlah mufradat (kosa kata) dan susunan kalimat, akan tetapi metode yang dipakai al-Qur’an dalam memilih mufradat dan gaya kalimatnya. Ali al-Jarim dan Musthafa Usman menyebutkan bahwa uslub adalah makna yang terkandung pada kata-kata yang terangkai sedemikian rupa sehingga lebih cepat mencapai sasaran kalimat yang dikehendaki dan lebih menyentuh jiwa para pendengarnya. Menurutnya, uslub ada tiga macam yaitu al-Uslûb al-‘Ilmî, al-Uslûb al-Adabî, dan al-Uslûb al-Khithabî. Uslub atau gaya bahasa berarti mengungkapkan fikiran atau perasaan melalui bahasa. Dalam kehidupan sehari-hari kita berkomunikasi dengan orang-orang di sekeliling kita, di rumah, di tempat bekerja, dll. Untuk mengungkapkan fikiran, perasaan, dan tujuan, digunakanlah bermacam-macam uslub atau gaya bahasa yang sesuai dengan gaya kalimat berita, gaya kalimat pertanyaan, gaya perintah, atau gaya bahasa lain, tergantung situasi dan kondisi.

Karenanya, uslub al-Qur’an berarti gaya bahasa al-Qur’an yang tidak ada duanya dalam menyusun redaksi penuturnya dan memilih redaksinya. Para ulama, baik dulu maupun sekarang, telah membahas bahwa al-Qur’an memiliki uslub tersendiri yang berbeda dengan uslub-uslub Arab lainnya, dari segi penulisan, retorika, dan susunan kalimatnya. Uslub yang dipakai manusia berbeda satu sama lain sebanyak kuantitas jumlah mereka, bahkan uslubyang dipakai seorang akan berbeda sesuai dengan tema dan dan konteksnya. Uslub yang baik adalah uslub yang efektif, yaitu uslub yang menimbulkan efek psikologis, bahkan efek artistik (keindahan) sehingga dapat menggerakkan jiwa mukhattab untuk memberikan respon perkataan atau reaksi perbuatan atau kedua-duanya, sesuai yang diinginkan oleh mutakallim. Uslub yang efektif atau uslub yang bernilai balaghah adalah uslub yang fasih, serta sesuai dengan satu atau lebih aspek situasi ujaran, yaitu tujuan, mutakallim dan mukhattab dan uslub yang disampaikan mutakallim sesuai dengan tempat dan waktu ujaran.

Susunan Uslub

Secara bahasa al-Nazhm adalah susunan. Sebagaimana yang telah disebutkan di mu’jam al-Wasith; Nazhm al-Qur’an itu adalah ungkapan-ungkapan yang ada pada mushaf baik dalam aspek sighah maupun aspeklughah. Sedangkan al-Nazhim dalam istilah nazhm al-Qur’an adalah al-Manzhûm (bagian-bagiannya serasi dalam satu keharmonisan).

Abdul Qâhir al-Jurjânî dalam bukunya “Dalâ’il al-I’jâz” mengemukakan teori tentang nazm yang terbilang cukup cemerlang. Adapun teori tersebut dapat diintisarikan sebagai berikut ini:

  1. Nazm adalah saling keterkaitannya antara unsur-unsur kalimat, salah satu unsur dicantumkan atas unsur lainnya, dan salah satu unsur ada disebabkan ada unsur lainnya.
  2. Kata dalam nazm mengikuti makna, dan kalimat itu tersusun dalam ujaran karena maknanya sudah tersusun terlebih dahulu dalam jiwa.
  3. Kata harus diletakkan sesuai dengan kaidah gramatikanya sehingga semua unsur diketahui fungsi yang seharusnya dalam kalimat.
  4. Huruf-huruf yang menyatu dengan makna, dalam keadaan terpisah, memiliki karateristik tersendiri sehingga semuanya diletakkan sesuai dengan kekhasan maknanya, misalnya huruf ما / mâ diletakkan untuk makna negasi (kata sangkalan) dalam konteks sekarang (hâl), huruf لا/ lâ diletakkan untuk makna negasi dalam konteksfuture (mustaqbal).
  5. Kata bisa berubah dalam bentuk ma’rifah, nakirah, pengedepanan, pengakhiran,حذف /ellipsis, dan repetisi. Semua diperlakukan pada porsinya dan dipergunakan sesuai dengan yang seharusnya.
  6. Keistimewaan kata bukan dalam banyak sedikitnya makna tetapi dalam peletakannya sesuai dengan makna dan tujuan yang dikehendaki kalimat.

Al-Jurjânî berpendapat bahwa nazm adalah وثيق الارتباط بالنحو, (terkait erat dengan nahwu/ tata bahasa). Namun yang dimaksud nahwu di sini bukanlah nahwu yang berkaitan dengan tanda rafa’, nashab, jâr, jazm, mendahulukan fi’il sebelum maf’ûl, dan sebaginya. Tetapi, nahwu yang dimaksud oleh al-Jurjânî adalah al-Nahw al-Balâghy atau al-Balâghah al-Nahwiyyah.

Al-Jurjânî mengemukkan contoh kecil yang berkaitan dengan nazm, seperti yang telah difirmankan oleh Allah Swt dalam surat Hud ayat 44.

وَقِيلَ يَا أَرْضُ ابْلَعِي مَاءَكِ وَيَا سَمَاءُ أَقْلِعِي وَغِيضَ الْمَاءُ وَقُضِيَ الأمْرُ وَاسْتَوَتْ عَلَى الْجُودِيِّ وَقِيلَ بُعْدًا لِلْقَوْمِ الظَّالِمِينَ ﴿هود: ٤٤﴾

Artinya: dan difirmankan: “Hai bumi telanlah airmu, dan Hai langit (hujan) berhentilah,” dan airpun disurutkan, perintahpun diselesaikan dan bahtera itupun berlabuh di atas bukit Judi, dan dikatakan: “Binasalah orang-orang yang zalim .”

Apa yang dikemukakan al-Jurjânî ini adalah hanya sebagian kecil dari maha karyanya yang tersebar dalam berbagai buku. Ia telah menganalisis fungsi bunyi, kata dalam kalimat, dan fungsi semuanya dalam mengantarkan makna. Di dalamnya, diterangkan tentang pemilihan huruf, pemilihan kata, dan fungsinya dalam kalimat.

Waq’u al-Uslûb

Al-Qur’an mempunyai keunikan dalam irama dan ritmenya. Dalam Al-Qur’an juga terdapat keteraturan bunyi yang indah melalui nada huruf-hurufnya ketika ia mendengar harokat dari sukunnya, mad dan ghunnahnya, fasilah dan maknanya sehingga telinga tidak pernah merasa bosan, bahkan ingin senantiasa terus mendengarnya.

Yang dimaksud dengan Waq’u al-Uslûb menurut Fahd adalah nizhâm al-Uslûb al-Shoutî (sistem styles bunyi) dan Jamâl al-Uslûb al-Lughawî. Banyak sekali orang yang menulis dua aspek dari uslub al-Qur’an tersebut dengan sebutan al-Nazm al-Musîqî, al-Musîqâ al-Dâkhiliyyah, al-Îqô’ al-Musîqî fi al-Qur’an, al-Musîqô al-Bâthinah, dan lain sebagainya.

Al-Waqa’ “irama atau ritme” dalam al-Qur’an tidak hanya terdapat satu surat secara utuh, atau pada sejumlah ayat. Tapi, irama dalam al-Qur’an juga terdapat pada satu lafadz.

Adapun contoh al-waqa’ dalam sejumlah ayat bisa kita jumpai pada surat al-Najm ayat 1-22 berikut ini:

وَالنَّجْمِ إِذَا هَوَى. مَا ضَلَّ صَاحِبُكُمْ وَمَا غَوَى. وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى. إِنْ هُوَ إِلا وَحْيٌ يُوحَى. عَلَّمَهُ شَدِيدُ الْقُوَى. ذُو مِرَّةٍ فَاسْتَوَى. وَهُوَ بِالأفُقِ الأعْلَى. ثُمَّ دَنَا فَتَدَلَّى. فَكَانَ قَابَ قَوْسَيْنِ أَوْ أَدْنَى. فَأَوْحَى إِلَى عَبْدِهِ مَا أَوْحَى. مَا كَذَبَ الْفُؤَادُ مَا رَأَى. أَفَتُمَارُونَهُ عَلَى مَا يَرَى. وَلَقَدْ رَآهُ نَزْلَةً أُخْرَى. عِنْدَ سِدْرَةِ الْمُنْتَهَى. عِنْدَهَا جَنَّةُ الْمَأْوَى. إِذْ يَغْشَى السِّدْرَةَ مَا يَغْشَى. مَا زَاغَ الْبَصَرُ وَمَا طَغَى. لَقَدْ رَأَى مِنْ آيَاتِ رَبِّهِ الْكُبْرَى. أَفَرَأَيْتُمُ اللاتَ وَالْعُزَّى. وَمَنَاةَ الثَّالِثَةَ الأخْرَى. أَلَكُمُ الذَّكَرُ وَلَهُ الأنْثَى. تِلْكَ إِذًا قِسْمَةٌ ضِيزَى. ﴿النجم: 1-22﴾

Al-Quran sendiri memperhatikan nada dan langgam ketika memilih kata-kata yang digunakannya setelah terlebih dahulu memperhatikan kaitan antara kandungan kata dan pesan yang ingin disampaikannya.

Sebelum seseorang terpesona dengan keunikan atau kemukjizatan kandungan Al-Quran, terlebih dahulu ia akan terpukau oleh beberapa hal yang berkaitan dengan susunan kata-kata dan kalimatnya, antara lain menyangkut nada dan lagamnya.

Walaupun ayat-ayat Al-Quran ditegaskan oleh Allah bukan syair, atau puisi, namun ia terasa dan terdengar mempunyai keunikan dalam irama dan ritmenya. Ini disebabkan karena huruf dari kata-kata yang dipilihnya melahirkan keserasian bunyi, dan kemudian kumpulan kata-kata itu melahirkan pula keserasian irama dalam rangkaian kalimat ayat-ayatnya.

Demikianlah masalah nada dan irama Qur’ani. Tanda-tanda pemisah antara ayat yang satu dan ayat yang lain, atau antara kalimat yang satu dan kalimat yang lain, irama Qur’ani tidak terikat sama sekali oleh kaidah atau pola apapun juga yang lazim digunakan dalam puisi Arab. Seni sastra Qur’ani tidak serupa dengan pantun yang harus memenuhi kaidah panjang lebar, tambahan dan ulangan, atau penghapusan huruf dan pengurangannya demi keserasian irama. Sastra al-Qur’an tidak lain adalah suatu gaya bahasa yang membawakan tujuan al-Qur’an selengkapnya, baik yang bernada lembut, keras tenang ataupun nada yang bernada menggelombangkan; baik yang mengalir perlahan maupun yang menggelegak laksana amukan badai.

Referensi

Abi Abdullah At Tirmidzi, 2003, Metafora Hikmah, Jakarta: Gema Insani Press

al-Husein bin Muhammad al-Raghib al-Asfahani. 1997. Mu’jam al-Mufradât li Alfâdz al-Quran. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah. Cet ke-1.

al-Jarim, Ali dan Musthafa Usman, Al-Balaghah al-Wadhihah, (Mesir: Dar al-Ma’arif, 1957)

al-Jurjânî, Qâhir, Dalâ’il al-I’jâz, (Damaskus: Dâr al-Fikr, 2007), Cet. I,

al-Rumi, Fahd ibn ‘Abd al-Rahman, Khashâish al-Qur’an al-Karîm, (Riyadh: Maktabah al-Taubah, 2000), Cet. X,

al-Shâlih, Subhi, Mabahits fi ‘Ulum al-Qur’an, (Beirut:Dâr al-‘Ilm li al-Malâyîn, 1977),

al-Zarqany, Muhammad ‘Abdul ‘Azhim, Manâhil al-‘Irfân fi ‘Ulum al-Qur’an, (Mesir: Dâr al-Ihya’, t.t.),

Dr. M.Quraish Syihab, 1996, Wawasan Al-Qur’an Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat, Mizan: Bandung,

Hidayat, D., Al-Balâghah li al-Jamî’ wa al-Syawâhid min Kalâm al-Badî’, (Semarang: Karya Toha Putra, tt), Cet. I,

Ibn al-Atsir, Al-Nihayah fi Gharib al-Hadits wa al-Atsar,

Ismail bin Katsir. 1990. Tafsîr al-Quran al-‘Adzîm. Beirut: Dar al-Jil. Jilid-4.

Kementerian Urusan Agama Islam, Wakaf, Dakwah, dan Irsyad Kerajaan Saudi Arabia. 1997. al-Quran dan Terjemahnya. Medinah al-Munawwarah: Mujamma’ al-Malik Fahd.

Keraf, Gorys, Diksi dan Gaya Bahasa, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2009),

Shehab, Magdy, Al-I’jâz al-Ilmi fi al-Qur’an wa al-Sunnah, dalam Syarif Hade Masyah, dkk,Ensiklopedia Mukjizat al-Qur’an dan Hadis; Kemukjizatan Sastra dan Bahasa al-Qur’an,(Bekasi: Sapta Sentosa, 2008), Cet. I, Jilid. VII,

Shihab, M. Quraish, Mukjizat Al-Qur’an diTinjau dari Aspek Kebahasaan, Syarat Ilmiyah dan Pemberitaan Ghaib, (Bandung: Mizan, 2008),.

Sugono, Dendy, dkk, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa Depdiknas, 2008),

Penulis Muhammad Jayus, MHI (Tim Media Online MUI Lampung)
Editor

Abdul Qodir Zaelani

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *