Keagungan suatu bangsa terletak pada sejauhmana bangsa itu menghargai budaya. Budaya merupakan karunia Sang Pencipta dan kreasi anak bangsa, seperti keragaman bahasa, suku, agama, dan tradisi atau ada istiadat. Indonesia merupakan bangsa yang kaya akan adat istiadat, budaya, suku, dan agama. Kekayaan budaya ini terdapat pada setiap sudut daerah dari bangsa ini. Tidak ada satu suku bangsa di Indonesia melainkan memiliki tradisi hidup yang beragam. Tradisi hidup itu menjadi budaya serta ciri khas suku bangsa tertentu. Kekayaan yang ada ini mestinya dijaga dan dijadikan sebagai perekat dari keragaman dan perbedaan. Benar adanya, satu sisi hal tersebut merupakan suatu kekayaan tak terhingga, namun manakala tidak mampu mengelola secara benar, akan menjadi sarana pemecah-belah bangsa ini. Melalui semboyan “Bhinneka Tunggal Ika”, keragaman suku bangsa dan budaya menjadi modal utama untuk mengantarkan kejayaan Indonesia.
Adat istiadat dalam bahasa Arab dikenal dengan al-‘Urf yang berarti adat kebiasaan yang berlaku dalam sebuah kelompok manusia. Kalimat al-‘Urf di dalam al-Qur’an secara langsung tercantum dalam surat al-A’raf ayat 199:
“Jadilah Engkau Pema’af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh”.
Kata kunci dalam ayat ini adalah ‘Urf. ‘Urf berarti perbuatan baik atau tradisi yang ada dalam sebuah komunitas tertentu. Beberapa ulama kalangan Malikiah berpandangan, suatu hukum tetap didasarkan pada tradisi dan kebiasaan yang ada dalam komunitas masyarakat. Muhammad Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah menjelaskan, kata ‘Urf sama dengan kata المعروف, yakni sesuatu yang dikenal dan dibenarkan oleh komunitas masyarakat. Adat istiadat suatu masyarakat jika dibangun berdasarkan nalar dan logika berpikir yang benar, pasti tidak bertentangan dengan risalah agama. Adat istiadat secara sadar dimengerti oleh khalayak serta diterima dengan baik kalangan masyarakat tersebut.
Bahasa lain, al-‘Urf menurut Quraish Shihab merupakan suatu tradisi atau adat istiadat yang berlaku di masyarakat tidak berseberangan dengan prinsip risalah Islam. Perilaku dan penjelasan tentang berbagai kebaikan ditetapkan berdasarkan kebiasaan yang ada di kalangan masyarakat. Berdasarkan keadaan ini, wajar saja jika terdapat perbedaan dan keragaman antar masyarakat, meski landasan dan dasar mereka sama. Islam tidak membatasi kreasi umatnya untuk tetap berkarya didasarkan ajaran pokok agama dan tetap bersikap kooperatif dengan budaya yang ada.
Sejak masa hidup Nabi Muhammad saw, tradisi tetap menjadi sandaran dalam hidup bermasyarakat. Banyak diijumpai bagaimana sikap Nabi saw dalam menjaga tradisi dan budaya yang ada di kalangan masyarakat. Hal ini berangkat atas dasar prinsip agama dan tidak menyimpang dari tradisi luhur manusia. Terdapat riwayat unik yang diriwayatkan oleh al-Bukhari ketika Aisyah mengawinkan seorang gadis yatim kerabatnya kepada seorang pemuda dari kelompok Anshar. Prosesi acara tersebut berjalan secara sederhana, menyaksikan keadaan ini Nabi menanyakan kepada Aisyah, “Apakah tidak ada permainan atau nyanyian? Karena orang-orang Anshar senang mendengarkan nyanyian.” Demikian, Nabi Muhammad saw menghargai tradisi kebiasaan masyarakat Anshar. Berdasarkan riwayat ini, Nabi saw bukanlah sosok yang kaku terhadap tradisi. Nyanyian dan tarian yang diperbolehkan tentunya yang tidak memalingkan dari mengingatkan Allah dan lalai akan tugas dan kewajiban sebagai individu, anggota masyarakat, dan hamba Allah.
Sayangnya, umat Islam tidak semuanya mendasarkan tradisi toleran ini dalam kehidupannya. Banyak ditemui akhir-akhir ini sekelompok umat Islam yang mengatasnamakan dakwah Islamiyah, acapkali menggunakan sikap kaku dan intoleran manakala bertemu dengan tradisi yang ada di masyarakat. Label-label takfiri (mengkafirkan) muncul bagi mereka yang menjaga tradisi dan budaya yang ada. Padahal jika ditelaah lebih jauh, apa yang dilakukan masyarakat bukan merupakan ajaran pokok dari doktrin Islam. Jika dikaitkan dengan apa yang dilakukan oleh Nabi Muhammad saw, tentu beliau memahami tradisi kaum Anshar ini dapat mengantarkan kepada kelalaian. Hanya saja Nabi saw mampu membatasinya pada tataran syukur atas nikmat dan keadaan yang indah. Tarian dan nyanyian yang dilakukan kala itu bukan bertujuan untuk melalaikan diri, melainkan sebatas mengungkapkan rasa senang dan bahagia.
Teladan Nabi Muhammad saw di atas dapat dijadikan sebagai salah satu strategi bangsa ini untuk memupuk rasa nasionalisme bagi masyarakat Indonesia. Jika keberagamaan adat istiadat rakyat bangsa ini mampu dilestarikan, niscaya jiwa nasionalisme akan semakin subur dan kokoh dikalangan masyarakat Indonesia. Sikap intoleran sebagian umat Islam Indonesia dewasa ini berangkat dari kealpaan mereka aka asal-usul bangsa Indonesia yang tidak dapat lepas dari keragaman budaya dan tradisi. Kekayaan ini mestinya terjaga tanpa harus ditabrakkan dengan norma agama. Fungsi agama tentunya menuntun tradisi dan budaya yang belum sesuai dengan risalah agama secara umum. Wallahu a’lam.
Penulis | Dr. Ahmad Isnaeni, MA (Ketua Komisi Infokom DP MUI Lampung) |
Editor | Abdul Qodir Zaelani |