Puasa dan Jihad Spiritual

Share :

za

Bulan Ramadhan bagi umat Islam adalah bulan yang sangat dinanti-nantikan. Pada bulan ini segala amal ibadah kita akan dilipatgandakan. Sehingga tidak mengherankan, jika semua orang berbondong-bondong dengan penuh semangat pergi ke masjid dan mushollah untuk mengejar keutamaan bulan Ramadhan ini. Tempat ibadah umat Islam hampir penuh diisi jama’ahnya mulai dari anak-anak hingga orang tua. Nuansa spirit keagamaan sangat terasa. Hal ini terlihat seperti gemuruh amin menggema di setiap masjid dan mushallah, tadarusan Alqur’an terdengar saling bersahutan, dan kegiatan keagamaan banyak dilakukan.

Pada bulan Ramadhan ini pula, umat Islam diwajibkan untuk melaksanakan puasa. Puasa yang bila ditilik dari bahasa Arab berasal dari kata sha-wa-ma yang berarti menahan, berhenti atau tidak bergerak, yang secara esensial mengandung makna menahan dan mengendalikan diri. Untuk bisa menahan dan mengendalikan diri, maka diperlukan perjuangan atau jihad. Jihad yang harus dilakukan adalah jihad melawan hawa nafsu.

Karenanya, tidak berlebihan jika Rasul bersabda, “Jihad yang paling besar adalah berperang melawan hawa nafsu”. Kenapa Rasul bersabda demikian? Karena bila direnungi secara mendalam akan ditemukan bahwa musuh-musuh jiwa itu bekerja secara rahasia dalam merusak kualitas manusia yang lebih vital. Pergulatan dan pertarungan yang paling besar terjadi di dalam jiwa antara dua kubu, yakni kekuatan yang baik dan buruk. Sebagaimana dalam firman Allah  surat at-taubah ayat 8, “Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu jalan kefasikan dan ketakwaannya”.

Kedua kubu tersebut, dalam setiap kesempatan, yang satu berupaya mengalahkan yang lain. Bila manusia tidak mampu melawan hawa nafsunya, maka manusia tidak ubahnya seperti binatang, bahkan lebih (al-A’raf: 179). Namun bila manusia mampu melawan hawa nafsu dan mengendalikan naluri kebinatangannya, maka ia bisa dikatakan lebih dari malaikat. Inilah yang disebut peperangan terbesar. Pertanyaan yang muncul kemudian, langkah apa yang harus kita lakukan?

Menggapai Spiritual Paripurna

Yang kita lakukan adalah berjihad untuk menggapai spiritual paripurna. Mengapa perlu berjihad? Karena berjihad atau berjuang adalah bagian dari insting manusia, yang dalam falsafah Barat disebut sebagai insting polemos, insting perjuangan. Insting jihad secara teknis adalah pengerahan kekuatan seseorang dalam menangkis musuh dengan segenap kemampuannya, baik melalui perkataan maupun perbuatan. Sebab itulah insting ini perlu dipergunakan dengan maksimal. Ada tiga langkah yang perlu dilakukan.

Pertama, melawan nafsu ammarah. Nafsu ammarah ini digambarkan dalam Alqur’an surat Yusuf ayat 53, “Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahanku), karena sesungguhnya nafsu (ammarah) itu selalu menyuruh kepada kejahatan”. Imam Ghazali dalam bukunya Ihya’ Ulumuddin, menyebut nafsu ini dengan istilah bahimiyyah dan sabu’iyyah (binatang ternak dan binatang buas). Sebab, sifat kebinatangan ini bersemayam dalam diri manusia, baik dalam jiwa maupun jasmani. Dalam jiwa tecermin dari sikap pendendam, pendengki, pemarah, suka berkelahi, dan sifat-sifat negatif lainnya. Dalam jasmani berwujud dalam bentuk perilaku tidur, makan, minum, berfoya-foya,  bersenggama, dan lainnya, yang berujung kepada hubbud dun-ya wakarahatul maut (cinta dunia dan takut mati).

Karenanya, nafsu ammarah ini harus dilawan dengan sekuat tenaga. Sebab nafsu ammarah bila tidak dilawan akan menjerumuskan manusia ke jurang kenistaan. Sejarah telah banyak mencatatnya mengenai orang-orang yang menuruti hawa nafsu ammarahnya. Bahkan, manusia pertama Adam dan Hawa, diturunkan ke dunia karena mengikuti nafsu ammarahnya, yakni memakan buah yang dilarang Allah, “syajaratul khuldi (pohon keabadian)”, sebagaimana tertuang dalam firman-Nya surat al-Baqarah ayat 35, “Dan Kami Berfirman: Hai Adam, ambillah oleh kamu dan istrimu surga ini, dan makanlah makanan-makanannya yang banyak lagi baik di mana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu dekati pohon ini, yang menyebabkan kamu menjadi orang-orang yang zalim”.

Sebab itulah, pada bulan Ramadhan ini, pada saat berpuasa, umat Islam dilatih untuk melawan hawa nafsunya. Bila kita mampu melawan dan mengendalikan hawa nafsu, selain pahala yang kita dapatkan, kesehatan pun bisa kita raih sebagaimana dalam sabda Nabi, “Berpuasalah kalian, niscaya kalian sehat (HR Ibnu al-Sunni dan Abu Nu’aim). Dalam sabda lain, “Tiada sesuatu yang dipenuhkan oleh putra putri Adam lebih buruk daripada perut. Kalaupun harus dipenuhkan, maka sepertiganya untuk makanannya, sepertiganya lagi untuk minumannya, dan sisanya lagi untuk pernafasannya (HR. at-Turmudzi).

Kedua, melewati nafsu lawwamah (nafsu yang sangat menyesali). Pada tingkatan ini manusia telah mampu memposisikan dirinya sebagai manusia yang mampu berfikir dan menyesali segala kesalahan, sebagaimana dalam firman Allah surat al-Qiyamah ayat 2, “walaa uqsimu bin nafsil lawwamah”, yang berarti, Aku bersumpah dengan nafsu (jiwa) yang amat menyesali (dirinya sendiri).

Pada tingkatan ini pula manusia mencela dan tidak menyenangi segala tindakan yang tercela. Dalam memenuhi kebutuhannya, manusia menghendaki untuk bertindak dan bertingkah laku dengan mengutamakan budi pekerti yang luhur. Bila manusia mampu berjuang (berjihad) untuk melewati nafsu lawwamah, maka progresifitas hidup akan diraihnya.

Ketiga, berjihad sekuat tenaga mencapai nafsu mutmainnah (memahami diri sediri dan mencapai insan kamil/kesempurnaan spiritual). Pada tahap ini manusia berada pada posisi spiritual paripurna, yanki dalam keadaan “rohani” yang tenang, damai dan tidak ada masalah baik secara pribadi, horizontal (sosial) maupun vertikal. Pada  tahap ini pula manusia akan berorientasi untuk selalu berbuat baik, berprikemanusiaan, dan mencapai derajat –memakai istilah tasawuf- takhalluq biakhlaqillah, yakni berakhlak seperti akhlaknya Allah. Maka tidak heranlah, bila manusia mampu berjihad hingga mencapai pada tahapan ini, Allah akan menempatkannya ke dalam surga-Nya, sebagaimana dalam firman-Nya surat al-Fajr ayat 27-30, “hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama’ah hamba-hamba-Ku. Dan masuklah ke dalam surga-Ku”.

Semoga pada bulan Ramadhan ini, kita bisa berjihad melawan nafsu ammarah, melewati nafsu lawwamah, dan menggapai nafsu muthmainnah, sehingga ketika idul fitri tiba, kita tak ubahnya laksana bayi yang baru dilahirkan, kembali kepada kesucian. Amin. Wallahu a’lam bishowab.

Penulis Abdul Qodir Zaelani, SHI., MA (Akademisi IAIN Raden Intan Lampung)
Editor Rudi Santoso

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *