Indonesia adalah negara yang sebagian besar penduduknya atau bahkan 80% menganut agama Islam, sisanya 20 % pemeluk agama lain plus aliran kepercayaan. Sebagai negara dengan penganut lebih kurang 80% beragama Islam, Indonesia dapat dikatakan sebagai negara dengan penduduk Muslim terbanyak di dunia. Meskipun negara-negara Timur Tengah seperti Saudi Arabia, UEA, Qatar dan Bahrain menjadikan Islam sebagai agama negara, namun penduduk yang menganut agama Islam tidak sebanyak penduduk Indonesia.
Anehnya di Indonesia, tidak semua penduduk yang beragama Islam itu beriman. Hal ini disebabkan ke-Islam-an mereka adalah Islam turunan bukan Islam karena keyakinan. Mereka ber-Islam karena ayah-ibunya Islam, kakek-neneknya Islam, secara otomatis dalam KTP-nya pun beragama Islam.
Ironisnya lagi, status ke-Islam-an mereka hanya disematkan beberapa menit sejak mereka dilahirkan dan akan mereka bawa sampai meninggalkan dunia. Namun jika dalam perjalanan kehidupan ada hal-hal yang membuat mereka takjub, dengan mudahnya mereka berubah haluan; merubah status dalam KTP.
Sama halnya dengan beberapa warga negara Indonesia yang kerap disebut sebagai warga negara keturunan. Mereka tidak bisa menolak disebut warga negara keturunan disebabkan ayah, ibu, kakek dan neneknya, bahkan buyutnya bukan orang asli Indonesia. Banyak warga negara Indonesia yang berasal dari warga negara keturunan, mereka sudah lupa asal-usul kakek buyutnya atau bahkan ada yang sudah tidak bisa menggunakan bahasa asli kakek buyutnya tersebut.
Berdasarkan hal tersebut, sejatinya pada bulan Ramadan di Indonesia lebih banyak umat beragama Muslim tidak berpuasa dibandingkan dengan umat beragama lain (baca: non-Muslim) yang tidak berpuasa. Mengapa demikian? Logikanya, jika penduduk Indonesia sekarang 250 juta, maka 80% nya adalah 200 juta beragama Muslim, sisanya 50 juta non-Muslim. Jika dari 200 juta tersebut, anggaplah 70% berpuasa meskipun angka ini tidak sepenuhnya benar, sedangkan 30% nya tidak berpuasa maka akan ditemukan angka 60 juta penduduk Muslim tidak berpuasa.
Tidak heran jika kekusyukan bulan puasa di Indonesia hanya akan dijumpai pada Minggu pertama atau bahkan hanya 3 (tiga) hari pertama. Selanjutnya kantin-kantin akan tetap buka walau setengah tertutup, warung-warung tidak akan terpengaruh dan bahkan masjid akan kembali sepi seperti biasanya.
Bila merujuk kepada normatifitas agama, Allah SWT berfirman: “wahai orang-orang yang beriman diwajibkan kepada kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan kepada orang-orang sebelum kalian agar kalian bertaqwa”. (Al-Baqorah: 183). Berdasarkan bunyi ayat ini, sudah jelaslah bahwa puasa hanya untuk orang-orang yang beriman.
Almarhum K.H Zainudin MZ pernah menyatakan bahwa yang terpanggil untuk berpuasa adalah orang-orang yang beriman. Bagi yang tidak beriman beda frekuensinya, tidak akan bergetar oleh panggilan itu. Dengan demikian, mereka yang tidak beriman, tidak akan terpanggil untuk berpuasa. Kalau logikanya dibalik, orang-orang yang tidak berpuasa, boleh jadi memang tidak beriman.
Sebenarnya tidak dapat disalahkan seratus persen kepada mereka yang Islam keturunan tersebut. Hal ini disebabkan dari sekian banyak ibadah yang dianjurkan oleh ajaran Islam, hanya ibadah puasa yang pahalanya menjadi wewenang penuh Allah SWT. Karena hanya puasalah ibadah rahasia yang tidak satupun orang mengetahui kualitas puasa seseorang selain Allah SWT. Sebagai ibadah sirri (rahasia), tidak heran jika kemudian banyak didapatkan, tidak sedikit orang berpuasa yang hanya mendapatkan lapar dan haus saja, tidak lebih daripada itu.
Penulis | M. Iwan Satriawan / Komisi Pengkajian dan Penelitian MUI Lampung |
Editor | Abdul Qodir Zaelani |