Puasa merupakan salah satu rukun Islam yang mesti dilakukan oleh seorang muslim. Pengujian keberadaan iman seseorang dapat dilihat dari seberapa serius merespon titah Sang Pemberi Risalah, Allah sawt. Konsekuensi keislaman mengharuskan taat akan perintah Allah, seperti puasa. Allah menyatakan dalam al-Qur’an tentang keberadaan perintah puasa tersebut dalam surat Al-Baqarah ayat 183 sebagai berikut:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ.
Allah Swt menyeru orang beriman dari kalangan manusia dan menetapkan baginya melaksanakan puasa (ramadhan). Apa itu puasa ?. Ibu Katsir dalam kitab tafsirnya menjelaskan, puasa ialah menahan diri dari makan, minum, dan berhubungan badan dengan isteri, diniatkan karena Allah. Tujuan puasa di antaranya untuk menyucikan jiwa dari kotoran hina dan perilaku rendah. Puasa sebenarnya dapat membersihkan dan menyehatkan jasmani, mempersempit godaan setan yang mengajak kepada keburukan. Ibnu Katsir mengutip hadis Nabi Muhammad saw tentang anjuran berpuasa bagi siapa saja dari kalangan pemuda yang belum mampu melaksanakan nikah untuk berpuasa. Hadis ini diriwayatkan oleh al-Bukhari dari sahabat Ibnu Mas’ud. Tujuannya agar pandangan terhadap wanita dapat terbimbing, dan tidak terjerembab di dalam perbuatan maksiat. (Tafsir Ibnu Katsir, surat al-Baqarah ayat 183). Pertanyaannya, kepada siapakah puasa ini ditujukan ?
At-Thabari di dalam kitab tafsirnya menyatakan perintah puasa ini diperuntukkan bagi kalangan manusia yang percaya akan keberadaan Allah dan Rasulullah Muhammad saw. Kalimat “kutiba” pada ayat di atas mengisyaratkan “furidho”, yakni ditetapkan suatu kewajiban. Suatu perintah yang telah menjadi ketetapan Allah swt, bagi mereka yang memiliki iman dalam hatinya akan kebenaran keberadaan Allah dan terutusnya seorang rasu-Nya, yakni Nabi Muhammad saw. Makna “ash-shaum” atau puasa adalah “al-kaff ‘amma amarallahu bi al-kaff ‘anhu” (menahan diri dari sesuatu yang telah diperintahkan Allah). Jika demikian wajar saja jika dalam kehidupan sehari-hari ada saja orang yang tidak menjalankan ibadah puasa di bulan ramadhan. Padahal kondisi badan sehat dan tidak ada kondisi yang membolehkannya untuk tidak berpuasa menurut syara’. Keadaan ini sebagai indikasi, mungkin saja dirinya tidak merasa terpanggil untuk melakukan ibadah puasa, lantara memang iman tidak ada dalam dirinya.
Perintah puasa di dalam ayat di atas tidak ditujukan untuk setiap hari, melainkan pada hari-hari tertentu sebagaimana yang telah ditentukan, yakni pada bulan Ramadhan. Berbeda dengan umat terdahulu pada masa awal kedatangan Islam, sebelum adanya perintah kewajiban berpuasa di bulan Ramadhan ini, kalangan umat Islam berpuasa tiga hari pada setiap bulannya. Umat terdahulu yang dimaksud adalah ahli kitab. Ibnu Katsir mengungkapkan di dalam kitab tafsirnya, ahwa ‘Ibad bin Manshur menjelaskan pendapat Hasan al-Basri, puasa adalah ibadah yang telah disyariatkan kepada setiap umat manusia dengan ketentuan hari dan waktu tertentu. Tradisi puasa ini terhenti manakala turun kewajiban berpuasa di bulan Ramadhan, sebulan penuh. Sementara at-Thabari tampak setuju dengan pendapat Abu Ja’far yang menjelaskan adanya perbedaan pandangan kalangan ahli ta’wil tentang siapakah orang sebelum umat Nabi Muhammad saw.
Al-Qurtubi di dalam tafsirnya menyikapi ayat di atas menetapkan ada enam hal, pertama, titah Allah di dalam ayat di atas diperuntukkan kepada orang mukallaf. Informasi ini didukung keberadaan puasa telah ada sejak lama. Kewajiban berpuasa sama seperti umat terdahulu dan tidak perbedaannya. Kedua, keutamaan puasa dan keagungan pahala yang disediakan oleh Allah. Di antara keutamaan puasa, Allah yang akan menakar seberapa berkualitasnya puasa seseorang. Perbedaan puasa dengan ibadah lain adalah adanya upaya menahan hawa nafsu dan syahwat selama berpuasa, sementara ibada lain tidak disyaratkan. Jika ibadah lain sudah tersiar besaran pahalanya, seperti shalat berjamaah akan mendapat dua puluh tujuh kali lipat. Sementara puasa hanya Allah yang mampu mengukur kualitas puasa seorang hamba. Wajar jika puasa disebut ibadah rahasia. Ketiga, ketetapan puasa bagi umat Islam sudah terbukti terlaksana sejak umat-umat sebelumnya. Puasa merupakan ibadah yang amat penting bagi manusia. Terbukti semua umat manusia mendapat titah ini.
Keempat, Perumpamaman berpuasa dengan umat terdahulu didasarkan pada waktu dan kualitasnya. Pada masa awal Islam, puasa dilakukan tiga hari setiap bulan, dan pada bulan ‘asyura. Kelima, tujuan puasa adalah meraih ketakwaan. Semakin banyak orang meninggalkan kepuasan makan, semakin kecil kuasa syahwat dan maksiat. Puasa merupakan perisai diri dari menurutkan hawa nafsu, demikian salah satu hadis Nabi Muhammad saw. Kecenderungan hawa nafsu dapat dimatikan melalui ibadah puasa. Sementara puasa sebagai sarana menuju keaatan (takwa) kepada Allah. Keenam, ketetapan puasa hanya di bulan Ramadhan. Kewajiban puasa bagi umat Islam tidak ditemui selain bulan suci ini. meski di beberapa bulan lainnya terkadang terdapat anjuran untuk melaksanakan puasa. Tetapi keagungan puasa Ramadhan tetap terbaik, di mana di bulan ini untuk pertama kalinya Kitab suci umat Islam diturunkan. Selain itu terdapat satu malam yang lebih utama manakala umat Islam beribadah dibandingkan malam dan hari lain, yakni lailatul Qadar.
Puasa di bulan Ramadhan salah satu sendi utama ajaran Islam, dengannya tingkatan takwa dapat diraih. Puasa bukan hanya mengajarkan manusia bagaimana menahan haus dan lapar, lebih dari itu, melalui puasa hawa nafsu yang ada di dalam jiwa kita agar mampu dikendalikan. Salah satu cara untuk mengalahkan hawa nafsu adalah melalui rasa lapar. Selain itu, kesalehan individu melalui ketaatan kepada Allah diharapkan akan mampu menumbuhkan rasa solidaritas kepada sesama. Kepedulian sosial amat dibutuhkan dalam kehidupan nyata, sehingga ajaran Islam benar-benar membawa rahmatan lil ‘alamin.
Penulis | Dr. Ahmad Isnaeni, MA (Ketua Komisi Infokom DP MUI Lampung) |
Editor |
Abdul Qodir Zaelani |