Penentuan awal bulan Hijriyah sering menimbulkan polemik dikarenakan setiap golongan mempunyai keyakinan dan pemahaman tersendiri dalam menentukan awal bulan Hijriyah khususnya bulan Ramadhan, Syawwal, dan Dzulhijjah yang ada hubungannya dengan kegiatan ibadah. Adanya perbedaan pendapat dalam penetapan awal bulan Hijriyah selain disebabkan adanya perbedaan metode dan sistem atau aliran dalam penentuannya, melainkan juga disebabkan karena adanya perbedaan batas geografis keberlakuan rukyat atau disebut Approach/mathla’. Adanya perbedaan Approach/mathla’ ini disebabkan karena ada yang berpedoman pada Approach Global dan Approach Parsial. Persoalan Approach/mathla’ juga terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama, khususnya di kalangan empat mazhab yaitu mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali.
Mazhab menurut bahasa berasal dari kata dzahaba yang berarti pergi atau dapat juga berarti pendapat. Adapun menurut istilah mazhab artinya adalah metode yang digunakan seorang mujtahid dalam menetapkan hukum suatu peristiwa. Mazhab juga merupakan sistem pemikiran atau pendekatan intelektual. Secara khusus, istilah ini digunakan untuk sesuatu yang berkaitan dengan aliran-aliran dalam fiqh. Selain itu, mazhab juga diartikan sebagai jalan dan keyakinan yang diikuti. Para pakar syari’at mendefinisikan mazhab sebagai sekumpulan pemikiran mujtahid di bidang hukum-hukum syari’at yang digali dengan menggunakan dalil-dalil secara terperinci (tafshil), kaidah-kaidah dan ushul, serta memiliki keterkaitan antara satu dan lainnya, lalu dijadikan sebagai satu kesatuan. Dalam arti lain bahwa yang dimaksud dengan mazhab adalah ushul dan fiqhnya seorang mujtahid.
Mazhab Hanafi ialah sekumpulan pemikiran Imam Abu Hanifah di bidang hukum-hukum syari’at. Dalam arti lain bahwa yang dimaksud dengan mazhab Hanafi adalah ushul dan fiqhnya Imam Abu Hanifah. Imam Abu Hanifah dilahirkan di kota Kuffah (Irak) pada tahun 80 H (659 M). Namanya sejak kecil ialah Nu’man bin Tsabit bin Zauth bin Maah. Ayahnya adalah keturunan dari bangsa Persi yang sudah menetap di Kuffah. Ia diberi nama “An-Nu’man” sebagai kenangan nama salah seorang raja Persia di masa silam. Gelar Abu Hanifah, karena putranya ada yang bernama Hanifah. Menurut riwayat lain karena ia begitu taat beribadah kepada Allah, yang dalam bahasa Arab Haniif berarti condong atau cenderung kepada yang benar. Riwayat lain pula menyatakan bahwa gelar Abu Hanifah karena ia begitu dekat dan eratnya berteman dengan tinta. Karena Hanifah menurut bahasa Irak adalah tinta. Berdasarkan pendapat yang paling kuat Imam Abu Hanifah meninggal pada tahun 150 H. Imam Abu Hanifah termasuk jajaran imam fiqh Ahlus Sunnah yang terkenal di dunia Islam.
Mengenai pemikirannya Imam Abu Hanifah mendasarkan mazhabnya pada Al-Qur’an, Hadits, Al-Ijma’ (Aqwalush Shahabah), Al-Qiyas dan Al-Istihsan. Ciri khas Imam Abu Hanifah adalah dalam ijtihadnya menggali ketentuan-ketentuan hukum fiqh yaitu disamping berpegang pada Al-Qur’an, Imam Abu Hanifah juga tetap berpegang atau berpedoman pada hadits. Akan tetapi, hanya hadits yang shahih yang mu’tamad saja yang dijadikan sandaran. Dalam metode qiyas nya, Imam Abu Hanifah tak berbeda jauh dari para imam ahli fiqh lainnya, yakni tidak mengabaikan ketentuan hukum yang pernah berlaku sebelumnya, khususnya mengenai kasus yang tidak terdapat atau tidak jelas ketetapan hukumnya di dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Namun, menurutnya qiyas yang benar ialah yang dapat mewujudkan tujuan pembuat hukum (As-Syari’). Imam Abu Hanifah pun berpendapat bahwa hukum yang berdasarkan qiyas yang benar lebih baik dari pada hukum yang didasarkan pada hadits-hadits yang tidak benar. Menurutnya, qiyas mempunyai kaidah yang pasti, yaitu mewujudkan kemaslahatan ummat, dan itulah yang menjadi tujuan syari’at. Dalam menetapkan metode qiyas Imam Abu Hanifah tidak menerapkannya begitu saja. Akan tatapi, ia mengkaji terlebih dahulu situasi dan kondisi masa terjadinya kasus tertentu. Imam Abu Hanifah menenempuh metode yang lazim disebut “ar-ra’yu”. Demikian pula dalam menakwilkan atau menafsirkan nash-nash hukum syari’at yang tidak jelas atau samar. Sebab itu, dalam dunia fiqh Imam Abu Hanifah dikenal sebagai “Imam Ahlur-Ra’yu” (ketua kelompok ahli pikir).
Fiqh Imam Abu Hanifah dilandaskan pada prinsip menghormati kebebasan setiap orang untuk menentukan kemauannya sendiri (hurriyyah al-iradah). Sebenarnya Imam Abu Hanifah tidak pernah menulis sebuah kitab ataupun buku mengenai pemikiran atau mazhabnya. Kalaupun ada kitab-kitab mengenai mazhabnya itu hanya ditulis oleh murid-muridnya. Adapun murid-murid Imam Abu Hanifah yang menyebarluaskan atau membesarkan mazhabnya ke penjuru dunia diantaranya yang termasyhur adalah: Abu Yusuf Ya’kub bin Ibrahim Al-Anshari, Zufar Bin Hudzail bin Qais Al-Kufi, Muhammad bin Hasan bin Farqad Asy-Syaibani, Hasan bin Zayadi Al-Lu’lui Al-Kufi maula Anshar.
Pendapat Mazhab Hanafi tentang Mathla’
Mathla’ menurut mazhab Hanafi ‘Abdurrahman Al-Jaziri dalam kitabnya Al-Fiqhu ‘Ala Madzhabil Arba’ah menjelaskan bahwasannya apabila telah ditetapkannya rukyatul hilal pada suatu wilayah, maka diwajibkan berpuasa bagi seluruh wilayah dan tidak adanya perbedaan mengenai wilayah yang dekat dan jauh. Apabila telah sampai kabarnya rukyatul hilal kepada seluruh wilayah, seluruh penduduk di muka bumi diwajibkan untuk berpuasa. Dan tidak menjadi pertimbangan dengan adanya perbedaan mathla’ hilal secara mutlak. Wahbah al-Zuhaili dalam kitabnya al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu menjelaskan pendapat mazhab Hanafi tentang mathla’ yaitu bahwa rukyat di suatu negeri berlaku untuk seluruh kaum muslimin di negeri lain. Sehingga perbedaan mathla’ tidak memiliki pengaruh apapun terhadap penentuan masuknya bulan baru Hijriyah. Kitab Al-Mabsuth Lisyaibany didalamnya menjelaskan tentang mathla’ menurut mazhab Hanafi bahwasannya apabila penduduk suatu negara melihat hilal Ramadhan, maka seluruh negara-negara Islam wajib berpuasa bersama-sama dengan penduduk yang melihat hilal. Dan kesaksian tersebut dapat disampaikan dihadapan hakim agung atau kepada imam (pemerintah). Kitab fathul qadir didalamnya juga menjelaskan tentang mathla’ menurut mazhab Hanafi, bahwasannya apabila rukyatul hilal telah ditetapkan di Mesir, maka rukyat tersebut diberlakukan bagi semua manusia, yaitu wajib berpuasa bagi semua manusia, baik penduduk Masyrik berdasarkan rukyatnya, maupun penduduk Maghrib. Atas dasar keumuman dari sasaran (khitab) lafadz “صُمُوْا” yang secara mutlaq rukyat tersebut hukumnya diberlakukan secara umum. Hasan Ayub juga menerangkan dalam kitabnya fiqhul ‘ibadaat biadillatiha fil islam bahwa mayoritas fuqaha Ahnaf menetapkan perbedaan mathla’ tidak berpengaruh, yaitu apabila penduduk suatu negara melihat hilal Ramadhan, seluruh negara Islam wajib berpuasa bersamaan dengan penduduk yang melihat hilal. Orang–orang Kuwait dan Saudi puasa berdasarkan ru’yah orang Mesir dan sebaliknya berdasarkan keumuman hadits Rasulullah saw.
حَدِيْثُ عَبْدِ اللّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا . أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَكَرَ رَمَضَانَ فَقَالَ: لاَ تَصُوْمُوْا حَتَّى تَرَوُا الْهِلاَلَ . وَلاَ تُفْطِرُوْا حَتَّى تَرَوُهُ . فَإنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقدُرُوْا لَهُ (رَوَاهُ الْبُخَارِيْ)
Artinya: “Hadits ‘Abdullah bin ‘Umar r.a. bahwasannya Rasulullah Saw, menyebut Ramadhan, kemudian beliau bersabda:”janganlah kamu berpuasa sehingga kamu melihat hilal (bulan sabit), dan janganlah kamu berhari raya sehingga kamu melihatnya, apabila tertutup oleh mendung maka perkirakanlah.” (H.R. Bukhari)
عَنْ اَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ الله عَنْهُ يَقُوْلُ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صُوْمُوْا لِرُؤْيَتِهِ وَاَفْطِرُوْا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوْا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلَاثِيْنَ(رَوَاهُ الْبُخَارِيْ)
Artinya: “Dari abu hurairah r.a. berkata: nabi saw. Bersabda: berpuasalah bila kalian melihat bulan, dan berbukalah bila kalian melihat bulan, namun bila bulan itu tertutup atas kalian (oleh awan), maka sempernukanlah hitungan bulan Sya’ban itu menjadi tiga puluh hari.” (H.R. Bukhari)
Berdasarkan hadits diatas bahwasannya lafadz صُوْمُوْا لِرُؤْيَتِهِ وَاَفْطِرُوْا لِرُؤْيَتِه ”berpuasalah kamu karena melihat hilal dan berbukalah kamu karena melihat hilal”. Sasaran (khitab) yang dituju adalah seluruh ummat, yaitu apabila salah seorang mereka menyaksikan hilal pada tempat manapun, itu berarti rukyat bagi mereka semua. Tidak dibedakan oleh perbedaan geografis dan batas-batas daerah kekuasaan.Wahbah Al-Zuhaily menyatakan bahwasannya hadits Abu Hurairah diatas menunjukkan bahwa wajibnya berpuasa bagi seluruh kaum muslimin berkenaan erat dengan rukyat yang tidak terikat (mutlak). Oleh sebab itu, rukyat dapat diterima atau terpenuhi baik dari orang banyak (jama’ah) maupun dari seseorang yang kesaksiannya diterima.
Wallahu A’lam bis Shawwab.
Penulis | Meri Fitri Yanti / Mahasiswa FSH IAIN Raden Intan Lampung |
Editor | – |