Menari di Atas Badai: Refleksi Kehidupan dalam Perspektif Islam
KH. Suryani M. Nur
(Ketua MUI Provinsi Lampung)
Ungkapan “Hidup ini bukan tentang menunggu badai reda, tapi bagaimana menari di atas badai” adalah metafora mendalam tentang bagaimana manusia seharusnya menyikapi ujian hidup. Dalam Islam, kehidupan adalah ladang ujian (ibtila’), dan Allah menilai bukan seberapa cepat kita menyelesaikan hidup, tapi bagaimana kita bertahan dan terus berbuat baik dalam kondisi apapun.
Keteguhan dalam menghadapi badai kehidupan mencerminkan prinsip sabr (kesabaran), tawakkal (berserah diri kepada Allah SWT), dan istiqamah (konsistensi dalam kebaikan) yang menjadi fondasi keimanan seorang Muslim. Islam tidak mengajarkan untuk lari dari masalah, tetapi menghadapi, berikhtiar, dan tetap berharap kepada pertolongan Allah, bahkan dalam kondisi paling sulit sekalipun.
1. Kesabaran dalam Ujian.
Allah SWT berfirman:
وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِّنَ الْخَوْفِ وَالْجُوْعِ وَنَقْصٍ مِّنَ الْاَمْوَالِ وَالْاَنْفُسِ وَالثَّمَرٰتِۗ وَبَشِّرِ الصّٰبِرِيْنَ
Artinya: Kami pasti akan mengujimu dengan sedikit ketakutan dan kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Sampaikanlah (wahai Nabi Muhammad,) kabar gembira kepada orang-orang sabar”. (QS. Al-Baqarah: 155)
Ayat ini menunjukkan bahwa badai kehidupan adalah keniscayaan. Namun, mereka yang sabar diberi kabar gembira. Menari di atas badai artinya tetap beriman, bersyukur, dan berusaha meski dalam kesulitan.
2. Keutamaan Konsistensi (Istiqamah)
Allah SWT berfirman :
قُلْ اِنَّمَآ اَنَا۟ بَشَرٌ مِّثْلُكُمْ يُوْحٰىٓ اِلَيَّ اَنَّمَآ اِلٰهُكُمْ اِلٰهٌ وَّاحِدٌ فَاسْتَقِيْمُوْٓا اِلَيْهِ وَاسْتَغْفِرُوْهُۗ وَوَيْلٌ لِّلْمُشْرِكِيْنَۙ
Artinya: Katakanlah (Nabi Muhammad), “Sesungguhnya aku hanyalah seorang manusia seperti kamu yang diwahyukan kepadaku bahwa Tuhan kamu adalah Tuhan Yang Maha Esa. Oleh sebab itu, tetaplah (dalam beribadah) dan mohonlah ampunan kepada-Nya. Celakalah orang-orang yang mempersekutukan-Nya.(QS. Fushshilat: 6)
Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda :
اسْتَقِيمُوا وَلَنْ تُحْصُوا وَاعْلَمُوا أَنَّ خَيْرَ أَعْمَالِكُمْ الصَّلَاةَ وَلَا يُحَافِظُ عَلَى الْوُضُوءِ إِلَّا مُؤْمِنٌ
Artinya: “Istiqomahlah kalian! Kalian tidak akan mampu menghitung (setiap pahala yang telah dikerjakannya); dan segeralah beramal! Sesungguhnya amalan kalian yang paling utama adalah shalat. Tidaklah ada yang dapat menjaga wudu, melainkan orang Mukmin.” (HR. Ibnu Majah)
Ini menguatkan bagian kutipan yang menyatakan bahwa “hidup ini bukan tentang siapa yang tercepat, tapi siapa yang paling konsisten.”
3. Menyembunyikan Kesedihan, Menjaga Ketegaran
Dalam Al-Qur’an, Allah SWT berfirman:
وَتَوَلَّىٰ عَنْهُمْ وَقَالَ يَٰٓأَسَفَىٰ عَلَىٰ يُوسُفَ وَٱبْيَضَّتْ عَيْنَاهُ مِنَ ٱلْحُزْنِ فَهُوَ كَظِيمٌ
Artinya: “Dan Yakub berpaling dari mereka (anak-anaknya) seraya berkata: “Aduhai duka citaku terhadap Yusuf”, dan kedua matanya menjadi putih karena kesedihan dan dia adalah seorang yang menahan amarahnya terhadap anak-anaknya.(QS. Yusuf: 84)
Nabi Yakub menangis dalam kesedihannya, tapi tetap berserah kepada Allah. Menangis dalam hujan sebagaimana diungkapkan dalam kutipan, adalah cara simbolik untuk tetap tegar dan tidak memperlihatkan kelemahan kepada dunia, meski hati sedang berduka.
4. Hidup adalah Perjalanan
Allah SWT berfirman:
يٰٓاَيُّهَا الْاِنْسَانُ اِنَّكَ كَادِحٌ اِلٰى رَبِّكَ كَدْحًا فَمُلٰقِيْهِۚ
Artinya: “Wahai manusia, sesungguhnya engkau telah bekerja keras menuju (pertemuan dengan) Tuhanmu. Maka, engkau pasti menemui-Nya”. (QS. Al-Insyiqaq: 6)
Ini menunjukkan bahwa hidup adalah perjalanan spiritual, bukan pelarian dari kenyataan. Tujuan akhirnya adalah kembali kepada Allah.
Dalam kaidah ushul fiqh terdapat prinsip “al-masyaqqatu tajlibu al-taysir” merupakan satu diantara lima kaidah pokok di dalam kaidah-kaidah fikih. Melalui kaidah ini lahir bermacam hukum yang sifatnya memudahkan dan meringankan. Kaidah ini adalah manifestasi dari tujuan pensyari’atan hukum yaitu menarik maslahat dan menolak mafsadat. Apabila dialih-bahasakan ke dalam bahasa Indonesia, kaidah ini bermakna “kesulitan dapat mendatangkan kemudahan”. Setiap ada kesulitan, kemudahan akan datang, kira-kira begitulah makna harfiahnya.
Ini berarti bahwa setiap kesulitan dalam hidup bukanlah untuk mempersulit manusia, tetapi menjadi sebab munculnya pertolongan dan kemudahan dari Allah.
Maka dari itu, badai kehidupan adalah sarana untuk naik kelas spiritual, bukan untuk membuat manusia menyerah.
Kaidah Ushul Fiqh lainnya:
الضَّرُوْرَاتُ تُبِيْحُ المحْظُوْرَات
(Ad-dharurat tubihul mahzurat)
Artinya: ‘Keadaan darurat membolehkan suatu yang terlarang.”
Ini menunjukkan bahwa Islam sangat realistis dan manusiawi dalam menghadapi keterbatasan dan tekanan hidup.
Kutipan ini, jika ditinjau dalam kerangka nilai-nilai Islam, mengajarkan filosofi hidup yang dalam: jangan tunggu semuanya sempurna untuk bahagia atau berkarya, tapi lakukan yang terbaik meski dalam ketidaksempurnaan. Seperti membuat kincir di tengah angin kencang, jadikan setiap tantangan sebagai energi untuk bergerak.
Kesabaran, keteguhan, dan istiqamah bukan hanya konsep moral, tapi juga strategi hidup Islami yang berpijak pada dalil syar’i dan logika ushul fiqh. Sebagaimana pelaut sejati tidak hanya menunggu badai reda, tetapi belajar mengarungi gelombang, demikian pula seorang Muslim sejati: tidak menanti waktu tenang, tapi belajar menari dalam badai.
Hidup ini bukan tentang menunggu badai reda, tapi bagaimana menari diatas badai. bukan pula tentang menunggu angin kencang berlalu, tapi bagaimana membuat kincir di tengah angin kencang. Hujan tidaklah menghalangi, hanya membasahi. Hidup ini bukan tentang siapa yang tercepat, tapi siapa yang paling konsisten dan tidak menyerah saat lelah.
Itulah sebabnya bila saat lelah, capek, sedih, menangis, maka menangislah di tengah hujan, biar orang tidak bisa membedakan yang mana air mata, dan mana air hujan. Hidup ini berjalan bukan berlari, karena hidup adalah perjalanan bukan pelarian. Wallahu a’lam bishawab.