OPINI: NALAR AL-NÂRAJÎL SEBAGAI METODE IJTIHAD HUKUM

OPINI: NALAR AL-NÂRAJÎL SEBAGAI METODE IJTIHAD HUKUM

Share :

NALAR AL-NÂRAJÎL SEBAGAI METODE IJTIHAD HUKUM
Dr. Agus Hermanto, M.H.I
Dosen UIN Raden Intan Lampung


Al-Nârajîl adalah diambil dari kata dalam Bahasa Arab yang berarti “kelapa”. Nalar ini terinspirasi pada lapisan demi lapisan yang ada pada buah kelapa yang sangat relevan dengan nalar ilmiah pada sebuah proses penemuan hukum Islam yang bersumberkan pada kitab suci yaitu al-Qur’an dan al-Sunah, serta pengembangan hukum melaui ijtihad dengan menggunakan dalil yang telah disepakai hingga upaya-upaya lain yang mukhtalif. Buah kelapa ini memiliki lima lapisan yang sangat unik dan masing-masing lapisan memiliki bentuk yang berbeda dengan lapisan lainnya, sehingga penulis tertarik dengan model lapisan ini, sehingganya penulis jadikan sebagai sebuah penalaran ilmiah yang sangat sederhana, namun juga secara maksimal dapat menggambarkan sejatinya hukum ada, dan juga penulis temukan letak sebuah pertikaian para ulama dalam menyikapi persoalan yang furu’i (cabang), hingga menghasilkan sebuah hukum Islam (fikih).

Buah ini memiliki lima lapisan. Lapisan pertama adalah lapisan halus yang ada di luar, lapisan kedua adalah lapisan serabut yang sangat tebal, dan lapisan ketiga adalah tempurung yang sangat keras dan kuat, lapisan keempat adalah intisari dari buah kelapa yang berwarna putih dan lapisan paling dalam adalah air. 

Lapisan pertama pada buah ini yaitu lapisan paling luar yang halus dan menjadi lapisan paling luar yang mencakup pada beberapa lapisan bagian dalam lainnya, memberikan sebuah isyarat bahwa Islam itu koprehensif (mencakup kajian yang sangat universal dan menyeluruh), mengandung makna yang sangat filosofis, bahwa universal dan menyeluruh ini bahwa kajian hukum Islam yang bersumberkan pada al-Qur’an dan al-Sunnah memiliki sebuah keterbukaan hingga dapat dikaji dengan berbagai pendekatan.

Pada lapisan kedua adalah pendekatan itu sendiri (approach), menunjukkan bahwa Islam dapat dikaji dengan banyaknya disiplin keilmuan, atau banyaknya pendekatan, baik yang masih relevan (interdisipliner, multidisipliner, hingga transdisipliner). Proses merekonstruksi hukum, dan atau merekonstruksi huhum, bahkan hingga mendeskonstruksi hukum, haruslah dilalui secara benar, karena jika proses itu dilakukan dengan cara yang tidak benar (baik dalam mengginakan teori/pendeketan, atau argument hukum yang digunakan, hingga kelemahan mujtahid dalam berijtihad) akan berakibat fatal. Pada pendekatan ini, ada dua pendekatan yang biasa dilakukan yaitu intra doctrinal reform, yaitu sebuah pendekatan hukum dengan menggunakan teori-teori yang ada dalam usul fikih. Sedangkan yang kedua adalah ekstra doctrinal reform yaitu pendekatan hukum yang juga dapat dilakukan dengan pendekatan selain usul fikih, adalah pendekatan yang dilakukan dengan teori-teori yang berkembang pada umumnya.

Maka, pada lapisan ketiga pada buah kelapa, terdapat sebuah tempurung yang sangat kuat dan keras, menujukkan sebuah filter bahwa hukum Islam dikonstruksi melalui tujuan yang jelas, pasti dan terukur, karena proses ini dilakukan dengan kehati-hatian serta keseriusan dalam memilah dan memilih ‘illat hukum dan dalam mengambil dalil yang relevan dengannya. Dalam konteks hukum Islam, maqasid al-syari’ah (tujuan hukum) haruslah diperioritaskan, baik yang bersifat dharûriyah (primer), hajjiyah (skunder), dan tahsiniyah (tersier). Secara primer tujuan hukum adalah untuk melindungi agama (hifdz al-dîn), menjaga jiwa (hifdz al-nafs), menjaga akal (hifdz al-aqil), menjaga nasab (hifdz al-nasl), dan menjaga harta (hifdz al-mâl). Keseluruhan unsur tersebut di atas, digunakan untuk menelaah realita hukum agar dapat rerukur yaitu untuk mengambil manfaat dan menolak kerusakan (li jalbi al-mashâlih wa li daf’i al-mafâsid). Tidak hanya pada wilayah tujuan hukum saja, melainkan juga dalam konteks mujtahid (ulama yang berijtihad), haruslah kompeten dalam proses ijtihadnya, sehingga tidak menghasilkan hukum yang cacat. Analoginya, bahwa jika pada lapisan ini cacat atau tempurung kelapa ini pecah, maka akan berakibat buruk pada bagian dalamnya.

Sehingga pada lapisan keempatnya ini adalah inti (bahan) yang dijadikan sebuah objek dalam kajian hukum ini, yaitu nash al-Qur’an dan al-Sunah. Sebuah lapisan  dalam yang dilapisi oleh tempurung. Menggambarkan pada dua kajian pokok yang merupakan intisari dari kajian hukum itu sendiri, inti kelapa dan air mengisyaratkan objek kajian hukum Islam yang pada ujung paling atas bersambung dengan tangkai yang dapat menembus beberapa laisan tempurung, serabut dan juga lapisan halus paling luar yang menunjukkan bahwa ketauhidan seorang mujtahid dengan setetus menjadi orang yang beriman adalah hal yang mutlak, sehingga kajian hukum Islam tidak elok jika dikaji oleh seorang yang orientalis dengan tidak adanya iman yang melekat padanya, karena jika itu dilakukan akan mengabaikan tujuan hukum maqashid al-syari’ah  dan ini akan berakibat fatal. Betapa tidak, bahwa hukum syarâ’ itu berlaku bagi orang yang mukallaf dan beriman, dan tidak sebaliknya, bahwa orang yang tidak beriman adalah tidak dianggap sebagai akhli ibadah (laisa min ahli ibadah), jika mereka (orang yang tidak beriman) bukan ahli ibadah, maka mereka tidak terbebani hukum, dan tidak mungkin orang yang tidak terbebani hukum lantas memiliki hak untuk berijtihad. Maka penulis menekankan bahwa nilai taihid dalam konteks hukum Islam menjadi induk lahirnya hukum syara’.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *