Opini: Mensunyi-Senyapkan Idul Fitri, Meramaikan Maaf

Share :

Mensunyi-Senyapkan Idul Fitri, Meramaikan Maaf

Miftahus Surur

Sekretaris Umum MUI Kaupaten Lampung Barat

Hadirnya Kesepakatan Bersama antara Gubernur, Kepala Kanwil Kemenag Provinsi Lampung, Rektor UIN Raden Intan, MUI Provinsi Lampung dan para Bupati serta Walikota se Provinsi Lampung belakangan ini terasa mengejutkan banyak pihak. Bagaimana tidak, setelah terbit larangan mudik pada lebaran tahun 1442 H ini, lalu publik tersajikan oleh kesepakatan itu. Pro kontra, celoteh, cemooh, kutukan, juga dukungan meruyak membanjiri dunia maya.

Kita mengerti dan juga maklum bahwa kesepakatan yang dibuat itu tentu saja tidak mudah. Bukan hanya karena situasi saat ini yang – seolah-olah – dianggap biasa saja, melainkan juga ini menyasar ranah tradisi keagamaan masyarakat yang sudah berjalan puluhan tahun. Masyarakat belum terbiasa, dan tampaknya sulit membayangkan bahwa 1 Syawal dilalui tanpa shalat id berjamaah di masjid atau di lapangan terbuka. Pertanyaannya; apakah Idul Fitri itu hanya absah dengan adanya shalat Id?

Tentu saja tidak. Siapapun mengerti bahwa dalam tataran yang normatif, Shalat Id bukanlah masuk dalam kategori ibadah mahdlah, bukan ke-fardlu-an yang harus. Tetapi harus diakui selalu ada luapan keriangan di sana. Entah karena ia hanya dilaksanakan setahun sekali, atau mungkin karena ia merupakan penghilang dahaga bagi orang-orang yang sebulan penuh menjalankan puasa. Tetapi yang tampak lebih kentara adalah karena shalat Id itu dilaksanakan beriring dengan momentum lebaran; ada pertemuan keluarga, si perantau yang pulang, pakaian baru yang bertebaran, juga angpaw yang selalu dinanti. Jadi shalat Id menjadi bermakna karena ada lebaran itu, dan kita pasti sulit membayangkan seandainya shalat Id tanpa lebaran.

Dua momentum itu – shalat Id dan lebaran – saat ini terancam tidak tersajikan, bukan hanya karena pelaksanaan shalat Id itu yang “harus” dikerjakan di rumah, juga larangan mudik membuat pertemuan si perantau dengan keluarga di kampung halaman tidak termungkinkan. Banyak yang memekik karena larangan mudik itu. Mereka yang terbiasa mudik sudah membayangkan untuk kembali membuat parade panjang tentang nostalgia. Bagi yang sukses di negeri orang, kepulangan mereka adalah sebagai pembuktian diri bahwa mereka sudah menjadi “orang” atau wis dadi wong, kata orang Jawa. Bagi mahasiswa yang lulus di kampus ternama, maka pulang berarti sebuah himbauan bahwa ia adalah mahasiswa yang mumpuni dan perlu diperhitungkan.

Sementara bagi yang biasa-biasa saja, pulang ke kampung halaman tetap menyisakan harapan untuk sekedar berkumpul dengan keluarga dan menghela nafas sejenak dari penatnya kehidupan. Dan mungkin juga ada yang sekedar ingin menunjukkan ke orang-orang kampung bahwa dirinya telah menjadi “orang kota.” Tetapi juga disana ada yang ingin pulang untuk merajut kebahagiaan melalui penumpahan air mata saat ia njelepok sungkem di hadapan sang ayah-ibu.

Kini, kesepakatan telah dibuat, kebijakan sudah ditebar. Maka tampaknya tidak perlu lagi hiruk dan terus-menerus menghujat, nggerundel, dan mencemooh sana-sini. Peraturan yang sudah diambil – sebagaimana kerap dinyatakan oleh para ahli dan analis kebijakan – tidak akan mampu memuaskan semua orang. Kebijakan yang ingin memutus rantai dan tali-temali penularan Covid-19 tetap harus diterima, bukan lagi dengan kebencian melainkan dengan penuh permakluman bahwa bertambahnya tubuh-tubuh yang mengalami sesak dan lunglai akibat Covid-19 akan terus berpotensi besar terjadi, yang mungkin akan menimpa orang-orang terkasih di sekitar kita.

 

Merenungkan Kembali Makna Idul Fitri

Dengan adanya kebijakan itu, maka hampir pasti Idul Fitri tahun ini akan sunyi senyap. Tiada lagi sajian berita arus mudik dan arus balik yang selama bertahun-tahun ingin disaksikan. Entah dimana daya tariknya, tetapi hampir setiap orang selalu menyaksikan tontonan di televisi tentang hal ihwal seputar mudik. Penonton tak hendak “ikut serta” merasakan kondisi para pemudik, bagaimana panasnya, seperti apa lelahnya, dan bagaimana pahit getirnya selama di perjalanan. Penonton televisi telah berubah sikap dimana kenyataan yang menggelisahkan itu menjelma menjadi “keasyikan-keasyikan” yang meletup-letup, sehingga dengan itu sulit untuk tidak disaksikan.

Pada konteks ini, seyogyanya kebijakan itu tidak lagi diarahkan maknanya pada penting atau tidaknya mudik ke kampung halaman, tetapi difokuskan pada perayaan hakiki dari Idul Fitri, yaitu suatu keinginan diri untuk kembali menjadi pribadi yang kosong dari cela (fitri). Pengosongan diri dari noda dan khilaf itu hanya dapat dilakukan melalui dua hal; pertama, jika ia berkhilaf kepada Allah swt, maka cara penyuciannya melalui permohonan ampunan (istighfar). Kedua, jika ia berdosa kepada sesama, maka satu-satunya cara pembersihannya hanyalah melalui permohonan maaf.

Lebih jauh, cara yang kedua inilah yang sejak lama dihembuskan oleh para ulama dan sesepuh kita bahwa permohonan maaf itu bukan hanya sebagai cara penghapusan noda dari khilaf, melainkan juga sebagai pengakuan bahwa “saya salah.” Dan pengakuan atas kesalahan itu akan memaklumkan seseorang bahwa dirinya adalah makhluk lemah, tak bernilai di hadapan orang yang ia sakiti, dan karena itulah ia kehilangan eksistensi. Maka permohonan maaf juga dilakukan dalam rangka mengembalikan eksistensi diri sendiri di hadapan orang lain.

Sebegitu pentingnya permohonan maaf itu, sampai-sampai Allah swt mengabadikannya dalam Al-qur’an sebagai salah satu ciri dan sifat hamba-Nya yang bertakwa, yang dalam kalam Allah disebut dengan wal ‘aafiina ‘an al-naas (lihat QS. Ali Imran, 134). Menariknya, posisi hamba yang bertakwa itu pula yang menjadi tujuan puasa Ramadhan. Maka seolah-olah ada kesan bahwa untuk menyandang predikat takwa harus dilalui dengan dua jalan yang saling terhubung, yaitu puasa Ramadhan, dan setelah itu dibarengi dengan permohonan maaf antar sesama.

Nah pada titik itulah, kehadiran Idul Fitri menjadi sangat penting. Ia tiadalah berarti apa-apa jika kehilangan nuansa dan suasana permohonan maaf. Dan tampaknya Allah swt telah mendesain Idul Fitri sebagai salah satu ruang yang paling tepat untuk mengurai rasa bersalah setiap orang. Meskipun benar bahwa “minta maaf” itu dapat dilakukan kapan saja, tetapi pada satu kondisi atau situasi psikologis tertentu, tidak sedikit orang yang membutuhkan saat-saat yang sangat khusus untuk mengurai kekeliruannya.

Jika sudah demikian, maka Idul Fitri tahun ini cukup digegap gempitakan dengan beramai-ramai memohon maaf, tanpa harus hadir secara wadag di hadapan orang-orang terdekat kita. Kecanggihan teknologi dapat dimanfaatkan untuk menyampaikan maaf, meskipun belum mampu menyalurkan hasrat dan rasa secara sempurna. Tetapi setidaknya kita menjadi yakin bahwa permohonan maaf itu lebih penting dari sekedar perayaan Idul Fitri atau lebaran yang tidak jarang justru mempertontonkan keangkuhan dan glamourisme melalui kompetisi sajian jajanan dan kerlap-kerlip pakaian baru.

Idul Fitri boleh sunyi, tetapi permohonan maaf tetap harus ramai. Karena permaafan itu bukan hanya akan menggiring manusia pada predikat takwa, melainkan juga dari permaafan itulah suatu peradaban bangsa dibentuk. Bukankah peradaban Islam ini pun dibentuk, sebagian besarnya bermula dari permaafan Nabi Muhammad saw atas kekejaman kaum kafir? Tampaknya memang demikian. Wallahu a’lam bisshawab.

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *