Opini: Qurban dan Nilai Kemanusiaan

Share :

Qurban dan Nilai Kemanusiaan

Ustaz. Ichwan Adji Wibowo, S.Pt., MM

Ketua PCNU Kota Bandar Lampung dan Camat Telukbetung Selatan

Seperti dimahfumi kaum beragama, sejatinya Qurban sebagai ibadah adalah ritual yang secara simbolik  membawa pesan, makna sekaligus memiliki tujuan dalam dua dimensi, persis seperti ibadah mahdoh yang lain.

Ia tidak saja hendak membimbing pelakunya untuk taqarub (mendekatkan diri) kepada Allah, dengan sejumlah instrumen ekspresi penghambaan seperti keikhlasan, ketaatan, kepasrahan, ketabahan, dan pada saat yang sama, ibadah Qurban juga secara simbolik membawa pesan dimensi sosial seperti mengembangkan kepedulian dan kepekaan sosial, membimbing simpati dan empati kemanusia, dst..

Sebagai ibadah tentu qurban juga diatur dan terdapat seperangkat ketentuan rukun syaratnya, dalam hal ini secara syareat fiqh menyediakan pedoman pelaksanaannya.

Sebagai ritual ibadah ia telah berlangsung lama berabad abad, sejak mula disyareatkan Qurban tidak saja dipahami sebagai ibadah yang waktu pelaksanaanya ajeg saban tahun, lebih dari itu ritual Qurban juga secara simbolik telah menjadi bagian laku budaya menjadi tradisi perayaan umat manusia, terlebih di jagat nusantara.

Umat Islam Indonesia dengan tipologi utamanya yang dicirikan dengan sifat komunalnya, tentu juga turut mewarnai pelaksanaan ibadah Qurban. Sebagai ibadah individual Qurban dalam pelaksanaannya selalu membutuhkan keterlibatan banyak orang, maka tidak heran jika di Indonesia ritual Qurban telah menjadi ritual kolektif, menjadi jauh lebih semarak, Qurban sudah menjadi tradisi yang tidak saja dilaksanakan oleh pengurus masjid, mushola tapi juga menjadi kegiatan organisasi, jamiyyah, yayasan, institusi, perkantoran, komunitas, lembaga sosial dan sebagainya.

Khasanah perayaan Qurban tidak saja telah menjelma menjadi laku sosial, tetapi juga nyata membawa dampak ekonomi bagi masyarakat, misalnya momentum Qurban menjadi panen raya bagi para peternak baik peternak skala usaha bisnis maupun skala usaha tradisional,  disana juga ada rezeki para jagal (juru sembelih), penjual daging di lapak.lapak pasar, penjual sarana pelaksanaan Qurban bahkan penjual arang dan tusuk sate, Perputaran uang bergerak cepat di level bawah.

Sebagai ibadah yang telah berlangsung lama, ritual perayaam Qurban sebagai laku sosial umat, harus bersedia untuk terus menerus dikoreksi, diperbaiki, ditingkatkan kualitasnya, setidaknya agar esensi utamanya sebagai pembawa pesan keagamaan tidak tercerabut spriritualitasnya.

Pelaksanaan Qurban hendaknya harus dimaknai secara kokektif untuk memunculkan banyak karakter ibrahim dan ismail baru di masyarakat, di tengah dinamika zaman yang terus berubah.

Qurban juga secara individual oleh para pelakunya harus dijadikan sebagai wasilah atau jalan untuk menempuh perjalanan ruhaniyah, menuju mabuk kepayang menikmati hakekat cinta kepada Robbul izzati, cinta tak bersyarat, laksana totalitas ketaatan ibrahim dan kepasrahan ismail.

Hari raya Qurban juga harus didorong sebagai serupa momentum teaterikal upaya bersama sama menjadi laku kolosal secara simbolik membunuh watak kebinatangan, sifat tamak, sombong, rakus dst.

Upaya membumikan spiritualitas Qurban seharusnya tidak saja diorientasikan bagi pengurban, tapi juga bagi sesiapapun yang turut terlibat dalam kegiatan Qurban termasuk para panitia Qurban di banyak tempat itu.

Sebelum mengakhiri tulisan ini saya hendak menyampaikan keprihatinan saya yang sudah sejak lama terlibat dalam urusan kegiatan Qurban baik sebagai ASN yang bertugas di bidang peternakan, maupun sebagai penggiat kegiatan kemasjidan dan aktifis jamiyyah.

Saya mengamati antusiasme berQurban pagi para agnia sangat besar khususnya pada masyarakat kota, tapi pada saat yang sama terdapat paradok dalam hal ritual Qurban sebagai upaya membangun kesalehan sosial dan menguji serta mengasah kepekaan sosial umat beragama.

Misalnya kegiatan penyembelihan hewan Qurban di komplek-komplek elit, di perumahan menengah ke atas Qurban begitu berlimpah ruah, terdapat situasi yang njomplang di perkampungan pinggiran kota, di perkampungan padat penduduk, di kampung kawasan pesisir, dst..

Situasi seperti ini tidak menjadi soal jika diimbangi dengan upaya distribusi daging yang lebih merata, lebih berkeadilan, dan berorientasi mengutamakan si lemah.

Lagi lagi pelakasanaan Qurban masih banyak didominasi pada laku ritual perayaan, bagi pengurban rasanya belum afdol jika tidak disebut namanya, tidak menyaksikan pemotongannya, tidak foto selfi bersama hewan Qurbannya, mungkin saja soal ini menjadi musabab keengganan orang menyerahkan hewan qurban di tempat lain yang ia tidak ketahui tempatnya

Masih mungkin juga ada shohibul Qurban maupun panitia belum sampai pada situasi memiliki hasrat memakan daging Qurban sebatas mengejar keberkahannya, tapi ruang kulkas kita yang terbatas, dan kantong perut kita yang relatif sama belum mampu membunuh keinginan memiliki daging Qurban yang lebih banyak.

Dan untuk Qurban kali ini saya tetiba teringat warga saya yang tinggal di gang gang sempit dan padat…

Semoga tahun depan ada muncul Ibrahim dan Ismail baru  yang berkenan mengunjungi kaum dhuafa dan mustadhaifin yang tinggal di kampung kampung pinggiran dan kumuh, sekedar memberi kejutan kecil membagi sekerat daging.

Wallahu A’lam Bishawab 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *