Opini: New Normal, Pondok Pesantren, dan Survival of the Fittest

Share :

New Normal, Pondok Pesantren, dan Survival of the Fittest
Miftahus Surur
Pengurus PW Lazisnu Lampung

 

Tidak lama lagi, pemerintah akan menerapkan kebijakan ‘New Normal’. Istilah ini merujuk pada suatu kondisi sosial yang tetap berjalan atau terpaksa dijalankan untuk menopang kehidupan masyarakat – terutama pada aspek ekonomi – sehingga kehidupan ini tampak seperti biasa (normal). Berhadapan atau berdampingan dengan Covid-19 yang entah kapan berakhir, kebijakan ‘New Normal’ mengajak kita berdamai dengan virus yang satu ini.

Entah ada hubungannya dengan istilah New Left, New Age, New Populism, atau tidak, istilah New Normal mulai bergaung dimana-mana. Praktiknya, dalam kehidupan sehari-hari, kita tetap dituntut untuk bekerja dan beraktifitas dengan berbagai pembatasan dan pengendalian. Protokoler kesehatan – istilah yang juga kini populer di masyarakat – menjadi kata kunci dari penerapan kebijakan ini.

Masyarakat boleh bekerja, tetapi harus memakai masker, tempat duduk berjarak, satu ruangan kerja hanya dua orang, pekerja tua harus di rumah saja, dan segala macam peradatan penanganan Covid-19 lainnya.

Dari rencana penerapan kebijakan ini, Pondok Pesantren atau lembaga pendidikan berbasis asrama tampaknya perlu dilirik secara khusus. Para praktisi dan pemerhati Pondok Pesantren sangat mafhum bahwa ‘situs’ belajar mengajar keilmu-agamaan Islam ini memiliki kondisi yang khusus dan khas.

Dalam kesehariannya, para santri hidup secara berkerumun, satu kamar bisa terdiri dari puluhan orang, satu bak mandi bisa digunakan beramai-ramai, juga baju dan handuk silih berganti dipakai secara berjama’ah, dan ketika mengaji pun dilakukan secara berkumpul dan berdesak-desakan. Secara fisik, kondisi Pondok Pesantren hampir pasti berseberangan dengan kebijakan New Normal.

Tentu, kita tidak bisa abai dan membiarkan Pondok Pesantren luluh lantak. New Normal seolah-olah ingin menegaskan bahwa “pada akhirnya, yang memiliki kekuatan tubuh dan kemampuan hebatlah yang akan bertahan,” merujuk pada teori sosio(bio)logi lama yang dikenal dengan sebutan Survival of the Fittest. Sederhananya, kita sedang bertarung dan dipertarungkan antar sesama, siapa diantara kita yang terbaik dan terkuat menghadapi Covid-19 ini, dialah yang akan selamat. Jika perlu, tanpa karantina juga tanpa obat.

Santri bisa jadi tidak peduli dengan itu semua. Mereka bukan tidak ingin mengerti tentang New Normal atau bagaimana strategi Survival of the Fittest itu, tetapi yang ada dalam benak mereka adalah bagaimana setiap saat dapat mencium telapak tangan para Kyai mereka, atau mulut-mulut mereka melafalkan nadham (kumpulan bait-bait serta syair) yang tertera dalam kitab-kitab tanpa harakat itu sembari memukul kaleng rombeng atau botol bekas minuman mineral. Ketidakpedulian mereka itu lebih disebabkan adanya proses tempaan untuk salah satunya menjadi sosok yang teguh dan yakin bahwa ‘Kekuatan Langit’ melebihi segalanya.

Dalam konteks Pondok Pesantren, Survival of the Fittest itu justru dilatih melalui proses dan tahap hidup yang penuh keprihatinan, mengubah galau menjadi tawa, serta memelihara penyakit kulit sebagai pesona. Bahkan dalam konteks yang lebih ekstrem, maut bukanlah sesuatu yang menyeramkan bagi para santri karena mereka yakin bahwa ketentuan yang satu itu sudah melekat pada diri mereka sebagai takdir yang ditulis saat ruh ditiupkan ke jasad dan hanya tinggal menunggu kapan ia datang menjemput.

Kini, pemerintah dan kita semualah yang harus peduli. Pondok Pesantren harus diajak berdiskusi mengenai keinginan dan kebutuhan mereka sendiri terkait dengan kebijakan New Normal. Jangan terlalu mudah meneriakkan kalimat “jaga jarak” atau “gunakan masker” tetapi masker tidak tersediakan dan sarana-prasarana Pondok Pesantren tidak diperhitungkan.

Bagaimanapun, Pondok Pesantren memegang peranan penting dalam penguatan negeri ini dari berbagai hantaman dan hentakan. Juga, ketika wabah ini merebak, para santri Pondok Pesantren lah yang setia “mengetuk” ‘Pintu Langit’ agar seluruh penduduk negeri ini – tanpa pandang beda suku dan agama – juga seluruh bangsa-bangsa dunia diselamatkan.

Demikian halnya ketika kehidupan kita hendak dicabik-cabik oleh agenda-agenda eksterimisme keagamaan, radikalisme dan upaya-upaya penghancuran NKRI, dari mulut para santri lah keluar teriakan “NKRI Harga Mati.”

Jika sudah demikian, akankah kita biarkan Pondok Pesantren menjemput kematiannya sendiri?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *