Estafet Perjuangan Kebangsaan
(Refleksi 10 Tahun Wafat Gus Dur)
Oleh :
Akhmad Syarief Kurniawan
(Peneliti LTN NU Lampung Tengah)
Hari ini genap sepuluh tahun tak terasa KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) meninggalkan kita, sejak 30 Desember 2009 silam. Dalam tradisi Nahdlatul Ulama (NU) dikenal istilah tradisi peringatan Haul (peringatan 1 tahun wafat seseorang), Haul akan terasa dahsyat gemanya jika yang meninggal itu seorang tokoh kharismatik, ulama’ besar, pendiri sebuah pesantren dan seterusnya, dan Gus Dur-lah salah satunya.
KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) adalah seorang Kiai, cendekiawan, aktivis, pemimpin humanis, budayawan, tokoh demokrasi, tokoh lintas agama, pejuang hak-hak asasi dan pluralisme. Kita sebut dengan penuh penghormatan ”salah seorang putera terbaik”. Sepanjang hidupnya telah mencurahkan pikiran dan tenaganya untuk menegakkan harkat dan martabat setiap individu dan komunitas pada tempat yang setinggi-tingginya sebagai warganegara. Tidak ada perbedaan, tidak ada diskrimansi dan tidak ada eksploitasi.
Gus Dur berjuang dengan penuh keikhlasan dan ketulusan. Beliau tidak dipeduli dicerca dan diserang. Menghadapai ancaman dan hinaan, beliau bukanlah pemimpin yang mementingkan citra dan ’nama baik’. Beliau maju terus dengan prinsip-prinsip untuk menegakkan demokrasi, hak asasi dan pluralisme.
Gus Dur bukanlah sebuah ’kebenaran’. Didalam dirinya beliau adalah sebuah percobaan demi percobaan untuk belajar, menempuh dan akhirnya meyakini bahwa jalan demokrasi itulah alternatif untuk bangsa yang plural dan beragam kebudayaannya ini.
Gus Dur adalah guru bangsa yang tak kunjung lelah untuk mencerahkan pikiran bagi seluruh anak bangsa. Beliau seorang pembela kebenaran, guru bangsa yang negarawan. Beliau adalah tokoh yang mengabdi demi bangsa dalam penuh keragaman, yang dimatanya hanya satu : Indonesia.
Gus Dur memiliki komitmen yang kuat terhadap pluralisme Indonesia. Seorang tokoh pembawa pemikiran Islam modern dengan ruh tradisional. Sehingga terkadang dituduh terlalu liberal dalam pemikian tentang Islam yang rahmatan lil ‘alamien – Islam yang semesta.
Sewaktu beliau masih hidup banyak yang tidak memahami jalan pikirannya, karena seringkali mengundang kontroversi. Kendati demikian, suaranya tak jarang bahkan menjadi kemudi arus perjalanan sosial, politik dan budaya kedepan. Beliau memang seorang yang tak gentar menyatakan sesuatu yang diyakininya benar, bahkan beliau juga berani berbeda pendapat dengan pendapat banyak orang, dan jika dirunut, kebenaran itu seringkali tampak radikal.
Meski pendapatnya tidak selalu benar –setidaknya menurut kacamata pihak lain – adalah sulit dibantah bahwa banyak pendapatnya yang menjadi panduan arah perjalanan bangsa pada rel yang benar sesuai dengan tujuan bangsa dalam pembukaan UUD 1945.
Pendapatnya memang tanpa interes politik pribadi atau kelompok. Beliau berani berdiri didepan untuk kepentingan orang lain atau golongan orang lain yang diyakininya benar. Malahan sering berlawanan dengan suara kelompoknya sendiri atau Nahdlatul Ulama. Juga bahkan ketika beliau menjabat Presiden ke empat Republik Indonesia, sepertinya jabatan itu tak mampu mengeremnya untuk menyatakan kebenaran yang mesti diakui sering tidak lazim.
Gus Dur termasuk pemimpin langka yang justru menyadarkan kita dari ilusi yang sedang menghantui bangsa ini, memperingatkan kita dengan keras dan membangunkan sikap kritis terhadap hal-hal kecil sekalipun, meski itu membuat dirinya dibenci oleh sebagian orang, tetapi disukai oleh sebagian yang lain. Gus Dur guru spiritual, bukan guru agama, guru yang selalu mengajak kita menyelam ke lubuk hati yang terdalam, yang dicapai bukan hanya rasio, tetapi segunung kelapangan diri untuk diingatkan dengan keras, kerelaan dan keikhlasan. Gus Dur selalu menyilahkan pejabat, dan tak segan menerima orang hina sekalipun untuk bertemu dirumahnya, Ciganjur.
Bagi waga NU (nahdliyyin), sosok Gus Dur adalah simbol pamomong, yakni, figur yang memiliki watak mengayomi, membimbing serta memperteguh kasih sayang atas sesama, tanpa membeda-bedakan. Keunikan dan kelebihan Gus Dur, sehingga beliau dipercaya oleh rakyat Indonesia untuk menduduki kursi RI-1 adalah karena beliau mampu dan cerdas memadukan nilai-nilai kepesantrenan, kebangsaaan dan kemanusiaan, bukan hanya dalam dirinya, melainkan juga dalam kenegarawanannya.
Dan yang tak kalah penting, Gus Dur adalah seorang tokoh muballigh kemanusiaan. Seluruh hidupnya bisa dikatakan didedikasikan untuk menyebarkan ajaran-ajaran agama. Melalui tulisan¬-tulisannya, ceramahnya dan aktivitas kehidupan serta pembelaannya terhadap sesama, Gus Dur menyebarkan ajaran-ajaran agama. Namun berbeda dengan muballigh konvensional yang cenderung menyebarkan ajaran-ajaran agama sebatas dimensi normatif dan simboliknya, Gus Dur selalu menyebarkan inti ajaran agama, yaitu ajaran yang menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia serta kemanusiaan, A. Muhaimin Iskandar, 2010.
Walaupun Gus Dur telah wafat tak terasa hampir sepuluh tahun tahun lamanya, terlalu banyak yang harus diungkapkan dari pemikiran Gus Dur untuk bangsa ini tak terkecuali konsennya dalam ranah pendidikan. Gus Dur adalah seorang Kiai tradisional yang sangat konsen dengan dunia pendidikan di Indonesia, setidaknya ada tiga gagasan strategis Gus Dur dalam ranah pendidikan.
Pertama, gagasan tentang pendidikan nasional dibawah satu atap. Gagasan ini sebenarnya bukan suatu hal yang baru. Pada masa Orde Baru Mendikbud dijabat oleh Daoed Jusuf (1978-1983) pernah mengemukakan bahwa semua lembaga pendidikan keagamaan, diurus di departemennya. Pada saat itu gagasan gagasan ini mendapat rekasi keras dari kalangan pemimpin dan organsiasi Islam, terutama karena pertimbangan politis, yakni kekhawatiran akan adanya proses sekularisasi dalam bidang pendidikan di Indonesia.
Kedua, kebijakan Gus Dur yang mengangkat para guru menjadi pegawai negeri sipil (PNS) meski belum menempuh pendidikan Diploma II, menjadi ”jalan surga” bagi para guru honorer tentunya yang telah belasan tahun mengabdi. Sebagaimana kita mafhumi bersama kebijakan pemerintah pada masa Orde Baru yang menghapuskan Sekolah Pendidikan Agama (SPG) dan Pendidikan Guru Agama (PGA) dengan mengharuskan para alumninya menempuh pendidikan Diploma II untuk bisa diangkat menjadi guru sangat menyesakkan. Karena masih banyak ribuan guru yang saat itu menjadi wiyata bhakti dengan masa bhakti belasan tahun.
Sekali lagi Gus Dur sangat paham jika kebijakan ini tidak diambil tentu akan ’menggantung’ nasib ribuan guru yang sangat berharap dapat mengabdi secara optimal dengan penghargaan yang memadai untuk bangsa ini.
Ketiga, Gus Dur dilahirkan dan dibesarkan di lingkungan kultur pesantren tradisional milik kekeknya KH. Hasyim Asy’arie dan ayahnya KH. A. Wahid Hasyim Tebu Ireng, Jombang, Jawa Timur. Sehingga tidak heran kultur pesantren sangat melekat pada sosok Gus Dur. Meskipun demikian, mayoritas masyarakat menganggap pendidikan di pondok pesantren seperti pendidikan kelas nomor ”dua”. Padahal jika dicermati secara objektif lembaga pendidikan ini telah banyak melahirkan tokoh-tokoh kelas nasional bahkan intenasional, almarhum Nurcholish Madjid (Cak Nur), KH. Hasyim Muzadi (mantan Ketua Umum PBNU), Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) (budayawan), KH. Mustofa Bisri (Gus Mus), D. Zawawi Imron (penyair) dan lain-lain merupakan tokoh-tokoh jebolan pesantren.
Memang, kini Gus Dur telah tiada namun cita-cita dan keteladanannya sampai hari ini masih hidup menyala, selaku generasi bangsa selayaknya kita melanjutkan estafet perjuangan dan pemikirannya. Gus Dur bukan sekedar milik warga Nahdlatul Ulama (NU), santri Tebu Ireng Jombang, Gusdurian, atau Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Gus Dur adalah milik semua anak bangsa Indonesia bahkan dunia. Al Faatihah.