ISLAM DAN KEARIFAN LOKAL
Oleh: Imam Mustofa
(Alumnus Pondok Pesantren Universitas Islam Indonesia Yogyakarta)
Islam lahir sebagai ajaran untuk menegakkan moral manusia, sebagai spirit untuk membangun peradaban yang berkeadaban dan konsep untuk menciptakan kemaslahatan kehidupan manusia. Konsep ini menuntut umat manusia untuk menjalankan segala aktifitas dengan berlandas pada spirit ketauhidan, kemaslahatan, keadilan, kebersamaan, persaudaraan, persatuan, ketertiban dan sejenisnyaa. Segala perilaku, kebiasaan atau adat yang tidak sesuai dengan spirit di atas, maka tidak diakui kebenarannya dalam perspektif Islam.
Kehadiran Islam di tengah kehidupan sosial umat manusia akan selalu bertemu, atau setidaknya bersentuhan dengan adat kebiasaan atau kultur suatu masyarakat. Keberadaan adat tersebut akan “berdiaog” dengan ajaran dan spirit Islam. Dialog inilah yang dinamakan dialog antara teks dan konteks. Dialog ini akan bisa berlangsung damai dan harmonis, tergantung siapa dan sikap pihak yang mendialogkan. Ada yang langsung menolak segala adat atau kultur dengan alasan tidak sesuai dengan nilai tauhid, ada yang mencoba mengharmoniskan, menegosiasikan dan menemukan format harmonis antara teks dengan kultur masyarakat.
Secara umum memang ada adat atau kultur yang jelas bertentangan dengan nilai dan ajaran Islam, adat semacam inilah yang langsung ditolak atau diubah oleh Islam. Contoh, tradisi menguburkan bayi perempuan pada masyarakat Arab jahiliyah yang kemudian berhasil dihapuskan oleh Rasulullah. Dalam konteks Indonesia, adat yang bertetangan dengan nilai ketahuidan yang kemudian oleh para ulama nusantara, terutama para wali di dialogkan dan diharmoniskan dengan teks adalah tradisi slametan untuk orang meninggal yang sebelumnya berisi persembahan sesajen untuk arwah leluhur dengan mantra-mantra yang menjurus pada kesyirikan diubah dengan substansi yang menegakkan nilai tauhid.
Sesajen yang tadinya dipersembahkan untuk para arwah diubah namanya menjadi berkat yang berasal dari bahasa Arab “berkah” dan diperuntukkan bagi sanak saudara dan tetangga yang hadir pada acara selametan. Tentunya pemberian berkat ini diniatkan sedekah. Bacaan-bacaan mantera diganti dengan bacaan al-Quran, istighfar, tasbih, tahmid, tahlil, shalawat dan biasanya ditambah dengan taushiyah agama. Proses harmonisasi antara teks dengan konteks ini memakan waktu cukup lama, karena berkaitan dengan membangun mindset masyarakat.
Adat atau kultur yang sudah mengalami akluturasi dengan konteks tersebut tentunya tidak seratus persen berubah total. Biasanya bentuk luarnya masih berupa adat kebiasaan atau kultur masyarakat dalam bentuk aslinya, namun, secara substansi tentu sudah berubah. Nilai-nilai dan spirit yanga da di dalamnya sudah disesuaikan dengan nilai dan spirit Islam. Substansinya sudah sesuai dengan nilai ketauhidan, kemaslahatan, persaudaraan persatauan dan sebagainya. Oleh karena itu, adat kebiasaan semacam ini tidak bisa dikatakan bid’ah dan sesat, apalagi syirik. Berbeda halnya bila slametan memang persembahan sesajen untuk arwah leluhur dan bacaan mantera-mantera yang tidak ada dalam Islam.
Adat atau kebiasaan yang buruk pun bila berhasil dimasuki nilai dan spirit Islam dapat diterima, terlebih adat atau kebiasaan yang memang pada dasarnya baik dan selaras dengan ajaran Islam, seperti rasa tepo sliro, sungkem kepada yang lebih tua sebagai rasa hormat, bersedekah untuk menolak balak, dan seterusnya. Hal ini tentunya diakui oleh Islam. Islam datang bukan untuk mengubah semua adat, akan tetapi menselaraskannya dengan nilai dan ajaran Islam, kecuali adat tersebut memang jelas-jelas bertentangan dengan nilai ketauhidan, kemaslahatan, keadilan, dan nilai kemanusiaan.
Menurut Abdul Wahhab Khalaf, kebiasaan atau adat yang baik wajib dipelihara dan dilestarikan, karena kebiasaan yang baik biasanya dilakukan oleh masyarakat untuk menegakkan kemaslahatan masyarakat. Selama tidak bertentangan dengan syariat Islam, maka wajib memelihara adat tersebut. (Abdul Wahhab Khallaf, 2005: I/89). Adat yang baik dari masyarakat Arab jahiliyah juga masih ada yang dilestarikan dan diakui sebagai bagian dari ajaran Islam, seperti kewajiban diyah, persyaratan kufu’ dalam pernikahan dan kebiasaan baik lainnya.
Eksistensi Adat dalam Islam
Kebudayaan lokal dalam Islam, termasuk dalam konstruk dalil dalam hukum Islam mempunyai eksistensi yang cukup strategis. Adat istiadat (‘urf) menurut sementara ulama merupakan salah satu dalil hukum dalam Islam. Berkaitan dengn masalah ini, dalam ushul fiqih (metodologi hukum Islam) ada kaidah yang cukup terkenal “al-‘Adah Muhakkamah” (adat istiadat dapat dijadikan dalil hukum), selama tidak bertentangan dengan syara’.
Imam Malik, salah satu Imam madzhab banyak mengmabil referensi kajian dan ajaran fiqihnya berdasarkan amalan dan kebiasaan masyarakat Madinah di masanya. Begitu juga dengan Imamm Hanafi. Beliau banyak mengakomodir adat atau kebiasaan masyarakat di masanya sebagai andasan fiqihnya. (Abdul Wahhab Khallaf, 2005: I/89). Imam Syafi’i juga terasuk ulama madzhab yang mengakomodir kultur lokal dalam mengembangkan kajian fiqihnya. Hal ini tercermin dari adanya teori qaul qadim dan qaul jadid dalam madzhab Imam Syafi’i. Mereka memahami bahwa apa yang telah menjadi ketetapa adat atau kebiasaan yang benar, maka sama kekuatannya dengan apa yang telah ditetapkan dalam nash atau teks. Hadisnya juga sudah jelas bahwa apa yang dalam pandangan masyarakat muslim baik, maka menurt Allah baik pula. Hal ini bisa dilacak dalam berbagai kitab atau buku ushul fiqih, baik klasik maupun modern.
Islam hadir sebagai ajaran dan spirit untuk menegakkan kemaslahatan manusia. Bila adat atau kebiasaan bertentangan atau tidak sesuai dengan spirit tersebut, maka Islam jelas menolaknya. Akan tetapi, bila adat atau kebiasaan suatu masyarakat itu baik, atau setidaknya bisa dikompromikan sehingga sesuai dengan spirit Islam, maka Islam jelas memeberi ruang yang luas untuk keberkangsungan adat kebiasaan tersebut.